Kemala ITB Goes To
School 2012 udah beres, lega
rasanya sudah menunaikan kewajiban. Semoga apa yang kami berikan dapat
bermanfaat bagi adik-adik kelas kami. Hari ini adalah hari terakhirku di
Lumajang walaupun sebenarnya kepulanganku ke Bandung adalah tanggal 19 Januari ,
tapi besok adalah hari keberangkatanku ke Malang, menikmati hiruk-pikuk kota
apel.
Bukan keberangkatanku ke Malang yang menjadi topik tulisanku
kali ini, tapi kepulanganku dari sosialisasi lah yang akan aku bagikan. Seperti
biasa, aku pulang menaiki angkutan kota dari perempatan Gadingsari yang pada
jam itu tak terlalu ramai akan lalu lalang kendaraan bermotor. Terik matahari
tak terlalu menyengat kala itu, sekumpulan awan sedikit memberikan keteduhan
pada tubuh ini, atau mungkin juga hati ini.
Tak begitu lama aku menunggu angkot untuk mengantarku pulang,
terlihat sebauh angkot dengan warna dasar merah mendekat, ku tengok ke dalam
dan ternyata hanya ada sang sopir, sepi. Mungkin jam itu bukan jam produktif
bagi penarik angkot untuk beraksi, tapi entahlah mengapa sang sopir tetap
beraksi melintasi jalan raya yang terpanggang matahari sejak pagi tadi. Ku
angkat tangan dan ku arahkan jari telunjukku ke Barat, pertanda bahwa aku ingin
pergi ke arah Pasirian, ia mendekat dan berhenti, ku buka pintu makhluk dari
besi itu dan ku rebahkan tubuh ini di samping jendela yang sedikit terbuka,
menikmati setiap hembusan angin yang sedikit mampu mengurangi kegerahan tubuh
ini.
Meter demi meter jalanan aspal kami lalui, hingga kami
sampai di tempat ngetem , lagi-lagi,
aku masih sendiri bersama pak supir yang setia mengemudikan angkotnya. Ia memutuskan
untuk menunggu sejenak di tempat itu, berharap ada penumpang baru untuk menemaniku,
memecah kesepian dan keheningan di dalam kol itu walaupun sepanjang perjalanan
terdengar lagu separuh aku dari NOAH, tapi tetap saja rasa sepi terasa. Perlahan,
rasa menyerah menghinggapi pak sopir, ia pun melajukan kembali angkotnya
walaupun tak ada penumpang baru, aku masih sendiri di samping jendela yang
terbuka, terhempas angin lalu lalang kendaraan yang bercampur dengan berbagai
macam zat berbahaya, polusi udara.
Lambat-laun, rasa ngantuk menghinggapiku, ku sandarkan
kepala ini ke besi jendela yang tepat ebrada di sebelah kananku, nikmat rasanya
walaupun terasa keras. Sesaat aku tertidur kemudian terbangun lagi, hingga aku
menyadari hanya akulah satu-satunya penumpang sepanjang perjalanan 10 KM itu,
entah kemana penumpang yang lain, tak ada keluh kesah dari sopir yang setia
memainkan setir di depan. Kasihan juga melihat pak sopir itu, 10 KM melaju,
tapi hanya satu penumpang yang di dapat, aku, dan hanya beberapa ribu rupiah
pula yang di dapat dariku. Sebuah kenyataan bahwa hidup tak mudah, sebuah
kenyataan bahwa rezeki memang harus dicari dan disyukuri, walaupun hanya
sedikit. Semoga pak sopir itu kini sedang melaju bersama angkot kesayangannya
bersama para penumpang yang memenuhi tiap ruang kosong di angkot merah itu.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu