Aku bukan lah seorang yang dengan mudahnya bercerita tentang
diriku. Terkadang ada banyak pertimbangan sebelum sebuah cerita ku lontarkan,
ku relakan menjadi konsumsi orang lain, sebagai bahan untuk di dengar,
direnungkan, atau mungkin diserang. Aku akan sedikit bercerita tentang
kehidupanku, sebagian waktu dari 18 tahun hidupku selama ini. Mungkin cerita
ini biasa bagi sebagian orang dan kerang biasa bagi sebagian yang lain. Semua
itu kembali kepada kamu sebagai pembaca, aku hanya sebagai pemberi cerita.
Taukah engkau benda kecil berbentuk tabung dengan panjang
sekitar 7cm yang begitu banyak di gandrungi oleh orang? Tak perlu susah payah
untuk menemukannya, kamu tinggal berjalan di sepanjang jalan dan membelinya di
warung-warung/toko kecil yang ada. Ya, rokok, benda kecil yang amat banyak
peminatnya mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa pun kini tak lepas
dari cengkramannya. Aku mengenal rokok ketika umur 6 tahun, ya ketika kelas 1
SD kala itu atau mungkin lebih muda dari itu. Ketika kecil aku adalah anak yang
nakal, mungkin sekarang pun juga demikian walaupun dalam bentuk kenakalan yang
berbeda dan lebih terbungkus rapi. Awal mula perkenalanku dengannya adalah
ketika dia berada di sebuah meja makan, dia sendirian, menyala-nyala, mengeuarkan
asap, dan terlihat ada rona merah di ujungnya, menarik bagiku. Sejak kecil aku
begitu suka bermain dengan api, membakar adalah hobiku, bermain api ketika
kecil mungkin sedikit banyak berpengaruh pada diriku sekarang yang terkadang
suka mencari gara-gara. Kembali lagi ke rokok yang hampir ku kenal itu, ku
pakai tanganku untuk meraihnya dan ku hisap rokok itu beserta asap yang
mengandung mungkin ribuan racun di dalamnya, nikmat? Mungkin saja, aku sudah lupa
sensasi pertama merokok ku, yang pasti, aku tak mengalami batuk ketika itu,
mungkin memang aku tahan dengan rokok.
Apakah kala itu aku bebas merokok? Tentu tidak, tak
berselang lama setelah aku mencoba rokok pertamaku, emak memarahiku, emak adalah
ibu asuhku yang sudah kuanggap ibuku sendiri.
Sebenarnya rokok itu adalah rokok dari bapak asuhku, karena itulah rokok nya
berada di meja dan dengan mudah bisa ku coba. Itulah adalah awal perkenalanku
dengan rokok, tapi bukan sebuah akhir.
Rokok dan kopi, dua hal yang biasanya saling melengkapi. Tak
hanya rokok, kopi adalah minuman yang sudah familiar dengan lidah serta lambung
ku sejak aku kecil. Kopi asli yang dibuat dengan menumbuk sendiri merupakan
favorit bapak asuhku,favoritku juga, jadi jangan heran bila sampai sekarang pun
aku doyan menghabiskan kopi atau bahkan ngopi di warung kecil di samping jalan
raya. Untungnya aku tak sendiri, teman-teman ku (baca: saudara-saudara ku) pun
merupakan pecinta kopi, ketika SMA, hampir setiap malam minggu selalu kami habiskan
untuk menikmati secangkir kopi di warung kecil milik orang tua teman kami yang
berlokasi di dekat rumah kosong samping kantor polisi, angker? Mungkin saja,
tapi nikmatnya kopi bisa mengalihkan rasa takut itu walau mungkin hanya
beberapa saat.
Kisahku bersama batangan rokok tidak berakhir ketiak aku
masih berumur 6 tahun, tapi kisah itu berlanjut ketika aku berada di kelas V
&/ VI SD. Rasa tau yang tinggi, mungkin itu yang menjadi dalih ku untuk mencoba
rokok kala itu, tapi bila memang demikian dalihku, rasanya dalih itu
terpatahkan dari banyaknya jumlah rokok yang ku habiskan. Di sungai dekat
kuburan lah aku sering menghabiskan berbatang-batang rokok, mulai dari Surya, Black, LA, tak beremerek, dll,
nikmat? Mungkin saja. Namun, satu hal yang paling aku suka dari rokok bukanlah
asap yang penuh racun itu atau harga yang murah itu melainkan rasa manis yang
berada di ujung hisap rokok, entahlah, menyenangkan rasanya menikmati manisnya
rokok, tanpa di bakar pun aku rela, pikirku. Beruntung, aku tak menjadi pecandu
yang harus selalu menghabiskan beberapa puntung rokok setiap hari, beruntung
aku tidak menghabiskan uang hanya untuk ku bakar setiap hari, beruntung.
Apa kah rokok segitu negatif? Mungkin ia, tapi dengan rokok,
aku bisa mengakses banyak informasi yang tak bisa orang lain dapatkan. Pernah
suatu ketika aku mengajak saudaraku merokok. Bukan tanpa rasa takut aku
mengajaknya, tapi melihat sikapnya, penampilannya, dan berbagai hal yang ada
sepertinya dia lebih parah dariku karena itu aku memberanikan diri mengajaknya.
Benar saja, melalui rokok demi rokok yang kami habiskan, mulailah dia bercerita
tentang kenakalan-kenakalan yang ia lakukan. Walaupun dia demikian nakalnya,
tetap dia adalah saudara yang tak ingin saudara nya menjadi seperti dia “Jangan coba-coba kayak aku mas”, dia
memperingatkanku. Aku yakin, orang
tuanya pun tak mengetahui hal itu, apalagi orang tua ku, walaupun orang tuaku
sangat perhatian pada saudara ku itu. Dahulu sempat aku berfikir untuk
memberitahukan apa yang ku dapat kepada orang tuaku, tapi niat itu aku urungkan
karena satu atau beberapa alasan. Ya, rokok, kadang melaluinya kamu bisa
berbaur dengan lingkungan walaupun dalam hal ini adalah lingkungan yang kurang
baik.
Itulah sedikit kisahku bersama rokok, silinder kecil dengan panjang
sekitar 7 cm yang memberikan kesempatan bagi ribuan orang untuk mencari rezeki,
dia yang mungkin menjadi pembunuh pasif jutaan orang di negeri ini, dia yang ku
kenal bahkan sejak sebelum aku mengenal “dia”.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu