Kamis, 10 Januari 2013
Saya punya sedikit cerita untuk kalian semua, pembaca setia
blog ini. Hari ini adalah hari kedua sosialisasi KEMALA ITB di Lumajang,
diawali dengan SMA Negeri 1 Lumajang dan SMA 3 Lumajang pada hari senin kemarin,
hari ini kami mengawali sosialisasi di SMA Negeri 2 Lumajang dengan kelas XII
IPS 1. Ya, kelas XII IPS 1, bertempat di ruang Religion A kami berbagi pengetahuan kepada adik-adik kelas. Awalnya
kami (baca: saya) agak khawatir animo mereka rendah tentang ITB, tapi usut
punya usut ternyata keingintahuan mereka dan minat mereka untuk tau tentang ITB
begitu besar, terlebih ketika kami telah mengenalkan FSRD, SBM, dan beasiswa
yang ada di ITB. Satu jam lamanya kami di dalam ruangan tanpa AC bersama 26
kepala calon pemimpin negeri ini. Ya, hanya satu jam, tapi lumayan berkesan
bagi kami (baca: saya) dikarenakan satu atau beberapa alasan.
Sebenarnya bukan sosialisasi yang menjadi topik bahasan kali
ini, tapi diskusi singkat antara saya dengan guru agama saya ketika SMA, Pak
Yasin. Beliau adalah guru yang bagi saya dekat dengan murid, ya karena memang
beliau suka bergurau dan tidak menutup mata dengan anak-anak jaman sekarang.
Jadi awalnya begini: waktu akan melakukan presentasi ternyata proyektor yang
ada di sana tidak bisa digunakan karena tidak ada kabel sakti untuk
menghidupkan proyektor tersebut, untungnya ada anak Pak Yasin yang dengan sigap
memencet-mencet tombol handphonenya dan me-request kabel sakti dari Pak Yasin
yang merupakan juru kunci ruang Religion A, tak lama setelah itu Pak
Yasin pun datang membawa solusi bagi masalah kami, satu masalah teratasi.
Sebelum kembali ke kantor, saya menyempatkan bercakap sebentar dengan beliau,
bertanya tentang sholat berjamaah, maklum ada beberapa hal yang masih saya bingungkan
ketika sholat berjamaah tidak mulai bersamaan dengan imam salah satunya adalah
ketika imam sudah tahiyat akhir tapi pada rokaat tersebut sebenarnya saya masih
rokaat pertama, ternyata memang benar saya harus mengikuti imam, melakukan
tahiyat akhir dengan bacaan dan posisi tahiyat akhir seperti biasanya. Masalah
pertama tuntas. Kedua adalah tentang sholat jamaah yang dilakukan oleh dua
orang. D kampus, saya pernah menemui ua orang sholat berjamaah dan masuk makmum
baru di jamaah tersebut dan dia menarik makmum yang sudah ada sejak awal, hal
inilah yang membingungkan bagi saya, orang sholat kok ditarik. Usut punya usut,
ternyata makmum lama lah yang harus sadar bila ada makmum baru dan dengan
segera mundur untuk membuat shaf/barisan dengan makmum yang baru. Masalah kedua
beres. Ketiga adalah tentang nikah. Ya, hal ini benar-benar memenuhi setiap
senti pikiran saya. Saya pun bertanya kepada Pak Yasin:
“Pak, saya pingin nikah”
“Lho, iya?”
“Iya pak”
“ya ndak papa itu, bagus, kalau khawatir terjerumus ke zina
ya mending nikah”
“Tapi kan saya masih kuliah pak dan juga belum ada kerja”
“Ya kalau itu kan bisa diomong dengan orang tua berdua,
kalau yang baik mah sementara biaya seperti pendidikan itu ditanggung dulu”
“Tapi ada juga orang tua yang enggak mau kayak gitu, kan
udah jadi tanggung jawab kamu”
“itu dia yang saya pikirkan pak, misal saya nikah tingkat
III otomatis biaya pendidikan saya dan istri saya lah yang saya tanggung,
setiap semester 5 juta otomatis untuk satu tahun harus ada 20 juta untuk 2
orang. Ya alhamdulillah sekarang saya sudah mulai ada kerja.”
“Ya enggak apa-apa, kan ada juga kerja di internet yang dari
rumah aja bisa kerja. Saya aja dulu pas kuliah juga kerja”
“Menurut saya, sebenarnya orang tua saya itu prinsipnya
sederhana pak, asal sekolahnya oke yang lain juga oke, tapi untuk urusan nikah
saya pernah ke rumah saudara yang sudah lulus kuliah dan ada celetukan ‘kok
enggak bawa perempuan le?’, dan ibu
saudara saya itu langsung menanggapi ‘kerja aja belum, masak mau bawa perempuan
(baca: nikah), mungkin seperti itulah prinsip keluarga besar saya, punya kerja
dulu baru nikah.”
“Saya sudah punya pekerjaan, tapi kan definisi orang untuk
perkejaan itu belum tentu sama”
“Wajar kalau orang tua itu khawatir”
“Kalau Pak Yasin punya anak seperti saya, lagi kuliah terus
mengutarakan niatnya buat nikah, reaksi Pak Yasin bagaimana?”
“Ya gapapa, asal tanggung jawab,”
Jleb jawaban yang
bagi saya sangat melegakan dan mengena bagi saya. Ya, asal bertanggung jawab.
Jawaban yang singkat, tapi butuh kerja keras untuk mewujudkannya. Nyatanya, sampai sekarang asya belum berani mengutarakan keinginan saya ini apda kedua orang tua saya, belum waktu yang tepat menurut saya. Sama saja berperang tanpa senjata ketika harus mengungkapkan hal ini ketika permodalan masih belum memadai, apa kata dunia?Semoga saja
dengan usaha dari tingkat I, keinginan saya ini bisa terwujud. Kan asik wisuda
bareng istri. :D (bs)
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu