MBA (Married By
Accident) ?
MBA (Married By Accident), mas, beneran mau ngebahas topik ini? Enggak kok, kali ini saya
enggak mau nulis tentang Married By
Accident yang udah banyak terjadi di sekitar kita, lho, kita? mas aja kali! Maaf, maksud saya sering kita jumpai di
tempat yang jauh dari lingkungan kita, secara kita kan orang baik-baik (baca:
semoga termasuk orang baik-baik dan selalu begitu). Sebenarnya, bahasan tentang
Married By Accident bagus juga untuk
diangkat menjadi sebuah tulisan, tapi sayangnya kali ini ada topik yang rasanya
lebih pas untuk dituangkan dalam secarik kertas, maksud saya sebuah postingan
:D. Masih tetap MBA, tapi bukan Married
By Accident melainkan Mari Budayakan
Apresiasi.
Sesuai dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia): ap·re·si·a·si /aprésiasi/ n 1 kesadaran
thd nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) thd sesuatu; 3 kenaikan
nilai barang krn harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah;.
Pada tulisan kali ini, definisi apresiasi yang diambil adalah definisi
kedua yang berbunyi penilaian
(penghargaan) terhadap sesuatu. Betul sekali, penghargaan. Sudah berapa
banyak penghargaan yang kita (baca: kamu) dapat? Sudah berapa banyak
penghargaan yang kamu berikan kepada orang lain? Banyak pertanyaan yang mungkin
timbul seputar pemberian apresiasi. Tidak peduli seberapa bergengsi sebuah
prestasi, tapi ia perlu untuk diapresiasi. Betapa tidak, apresiasi kan memiliki
banyak manfaat antara lain:
1.
Meningkatkan semangat untuk meraih prestasi yang
lebih tinggi.
2.
Sebuah wujud penghargaan terhadap kerja keras.
3.
Sebuah sarana “keikutsertaan” kita pada usaha
orang lain.
4.
Dan lain-lain.
Bayangkan saja bila anda menjadi sebuah atlet yang meraih
medali emas dalam sebuah kejuaraan , tapi tak ada apresiasi yang anda dapatkan,
tentu rasa sebal akan menghampiri, lumrah, terlebih ketika anda sudah berjuang
ekstrakeras untuk meraih medali tersebut. Tidakkah mudah untuk memberi apresiasi
kepada orang lain walau hanya dengan ucapan “terima kasih ya”, “selamat ya”,dan
lain-lain. Mungkin kata-kata tersebut sederhana, tapi penuh makna. Mungkin
kata-kata itu kurang berarti bagi sebagian orang, tapi ia bisa menyenangkan
hati.
Pernah suatu ketika saya menjadi panitia Olimpiade Tingkat
Karesidenan, begitu banyak peserta yang hadir kala itu. Sayangnya, ada sedikit
kendala ketika pembagian sertifikat, kebetulan bidang itu adalah bagian saya.
Dari yang ada sertifikat ganda hingga sertifikat yang kurang. Pantaslah bila
ketika itu saya dan rekan harus bolak-balik dari sekolah ke percetakan untuk
mencetak sertifikat tersebut, harus bolak balik dari ruang panitia ke ruang
OSIS, dll. Capek? Pasti. Namun, di tengah pembagian sertifikat yang begitu
ramai itu, ada ibu-ibu yang berkata, “Kerja
panitia bagus nih, cakcek”, jesssss…..capek yang tadi saya rasakan seakan
terbang begitu saja. Seperti kapas yang tertiup sepoi angin di pagi hari.
Kata-kata ibu tadi benar-benar menyejukkan padahal hanya beberapa diucapkan.
Apa yang saya usahakan serasa tidak sia-sia dan saya beserta rekan-rekan makin semangat
untuk melayani mereka.
Cakcek ‘tangkas, kerja cepat’
Lain tempat lain cerita, ketika kelas XI SMA saya pernah
mengikuti pelatihan otak tengah. Berbaur dengan anak-anak yang berusia dibawah
15 tahun dan kebanyakan masih sekitar 10 tahun. Paling tua? Enggak lah, masih
ada pentutor yang jauh lebih tua, hehe. Ada banyak hal yang saya dapat di sana,
yaitu kita harus melakukan sesuatu dengan keadaan senang agar hasilnya maksimal
dan budaya apresiasi. Ketika senang, kita berada di keadaan puncak dan di
keadaan itulah kita dengan mudah dapat menerima sesuatu ataupun melakukan
sesuatu. Pantas saja, sebelum masuk ke materi atau pokok pelatihan, peserta
mendapatkan tontonan yang bertujuan untuk membuat mereka masuk ke keadaan
puncak itu seperti dengan menonton film kartun yang lucu, bernyanyi, dan
lain-lain. Budaya apresiasi juga diterapkan di sana, tak jarang pentutor
melemparkan pertanyaan pada peserta pelatihan, dan eng ing eng, ternyata setiap
jawaban yang dilontarkan oleh peserta tidak dianggap salah dan setelah menjawab
pertanyaan peserta tersebut pasti akan mendapatkan hadiah seperti pensil,
bolpoin, buku, dll, oh senangnya, haha. Bukan jawaban yang banyak ngawurnya
yang menjadi perhatian para pentutor sehingga mendapatkan apresiasi berupa
hadiah melainkan keberanian mereka untuk menjawab, wajar, mereka masih
kanak-kanak.
Namun, di ujung dunia lain masih ada yang belum menerapkan
budaya apresiasi atau menerapkannya, tapi dengan nilai yang negatif. Apresiasi negatif? Yoa,” bila menang
dipuja, bila kalah dihina”, hinaan juga apresiasi kan? Kwwkw. Sayang sekali memang,
sebuah usaha yang sudah maksimal harus terbayar dengan hinaan karena sebuah
kekalahan. Memang kalah itu tidak enak dan mungkin bagi sebagian golongan
memalukan, tapi alangkah lebih baik bila ada apresiasi seperti “terima kasih
sudah berusaha dengan maksimal” yang mewarnai kekalahan tersebut sehingga tidak
ada beban yang makin memberatkan mental pemain. Udah kalah masih aja dihina, bagai jatuh
terlindas mobil, hehe. :D
Gimana? Masih berfikir
apresiasi itu mahal dan susah? Masih tetap menjunjung prinsip “menang dipuja
dan kalah dihina”? Silahkan
memberikan tanggapan tentang tulisan ini dengan bahasa yang sopan, makin banyak
tahu tentang pandangan orang tidak salah kan? J
Salam,
Salam,
BangSatya
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu