Januari 2013 adalah awal kembaliku ke kota ini, Bandung. Dua
bulan sudah berlalu, dan kini kurasakan rindu. Aku rindu Bapak, aku rindu Ibuk.
Entah mengapa, aku begitu rindu dengan beliau berdua. Rasa rindu yang begitu
menggebu tak tertahan karena jarak memisahkan.
Aku teringat kata-kata ibuk dahulu ketika aku pergi ke
Jember untuk bimbel selama sebulan. “Mas Aryya latihan ngekos, ibuk juga
latihan, latihan nahan kangen” Duh…Buk, aku kangen. Jarang sekali aku bilang
kangen pada beliau berdua, bahkan mungkin tak pernah. Mungkin karena aku ingin
terlihat kuat di mata kedua orang tuaku. Tak sekalipun kata rindu itu terucap.
Mungkin juga bukan karena aku tak rindu, tapi aku tak tau bagaimana untuk
mengucapkannya.
Dari kemarin rindu ini menggebu dan makin menggebu. Belum
ada telpon lagi dari kedua orang tuaku. Pak, buk, aku rindu. Walaupun beliau
berdua tak berkata “Nak, Bapak Rindu. Nak, Ibuk Rindu”, tapi aku yakin seyakin
yakinnya bahwa rindu yang mereka rasakan jauh di tas rinduku kini. Rindu anak
pada orang tuanya, rindu orang tua pada anaknya. Aku tau mengapa beliau berdua
tak sering-sering menlponku, beliau takut menggangguku, mengganggu jadwal
kuliahku. Aku tau mengapa beliau berdua tak bilang kangen, beliau berdua takut
mengganggu pikiranku, takut membuatku malah ingin pulang. Kalau ditanya siapa
yang paling merasakan berat dan rindu, pastilah mereka berdua. Melapas anaknya
untuk pergi walaupun itu untuk menuntut ilmu. Pak, Bu, aku kangen. Aku teringat
ucapan ibuk, ”Ibuk pingin Mas Amri pulang, tapi ibuk enggak tanya-tanya kapan
mas pulang, ibuk takut kuliahnya terganggu atau malah pulang Cuma gara-gara
ibuk kangen” Duh..buk…aku kangen. Padahal aku masih ada di satu pulau dengan
beliau, padahal aku masih satu negara dengan beliau, tpai rasa rindu itu
sungguh sungguh terasa di kalbu.
Isakan ini tak bisa terelakkan kala ku mengingat kesalahanku
kepada beliau berdua, pada ibuk, dari sejak aku kecil hingga sekarang. Banyak,
amat banyak kesalahanku, hingga membuat ibuk sedih. Entah berapa banyak aku
membuat beliau berdua sedih, terlibat masalah karena tingkahku. Entah berapa
kali hati beliau berdua teriris sepi tanpa ku tau. Ntah berpa banyak air mata
yang menetes namun tak tampak di mataku. Duh…ibuk..bapak, aku kangen. Aku
kangen masa-masa ketika ku kecil mendapatkan belian Ibu. Aku kangen ketika bisa
tidur di pangkuan ibu dengan lelapnya. Aku kangen dengan sentuhan halus tangan
ibu di kepalaku. Aku kangen buk..aku kangen. Sungguh ku ingin bilang “Pak, Buk,
aku kangen”, tapi entah mengapa begitu sulit untuk ku mengucapkannya, begitu
susah untuk kata itu terangkai. Pak, Bu, aku kangen. Aku ingin berada di
pelukan engkau berdua dengan hujanan ciuman sayangmu yang selalu hadir ketika
ku di rumah. Pak, aku kangen ketika setiap selesai sholat engkau selalu mencium
keningku dan berkata “Pinter”. Aku kangen dengan semua hal yang engkau begikan.
Aku kangen.
Aku tak bisa bayangkan seberapa kangennya Rentis, Sasa,
Lilin, Ceris, dan Cepi. Ya Allah, Duh…betapa kangennya mereka pada ayahny. Duh…rasa
rindu ini begitu hebat,t api ku yakin rasa rindu yang mereka rasakan jauh lebih
hebat. Mungkin mereka lebih kuat dariku, jauh lebih kaut dariku, hanya saja aku
yang sok sok an kuat. Entah betapa sepinya hati yang mereka miliki ketika
ayahnya tlah tiada. Entah betapa paginya pagi yang cerah tanpa sapaan sayang
dari ayahnya. Entah betapa banyak ruang-ruang yang jadi kosong dalam keseharian
mereka tatkala ayahnya pergi. Duh…pasti mereka kangen.
Rentis yang ditinggal Lek hadi ketika aku masih kelas III SD
pasti merasakan rindu yang teramat dalam, udah bertahun-tahun sejak kepergian
Lek, tapi pasti rasa rind itu ada. Aku hanya melihat tawa, senyum, dan beberapa
muka masam ketika ia ku goda. Namun aku tak tau seberapa banyak air mata yang
ia teteskan ketika berdoa untuk ayahnya ketika selesai sholat, aku tak tau
berapa kali ia harus berjuang dengan hatinya untuk tetap tegar untuk tidak
kalah dengan sedih da sepinya. Pak, bu, aku kangen.
Lilin, Sasa, mereka tetap memberikan senyum kepada
saudara-saudaranya, walaupun mungkin ada tangis iri melihat saudaranya
memanggil ayahnya. Entah berapa kali Sasa mengirim sms ke nomor hp ayahnya dan
ia balas sendiri saking rindunya ia pada Lek Yudi. Entah berapa sering mereka
memandangi foto ketika mereka foto bersama hanya untuk melepas rindu. Duh,
kangen. Pak, bu, aku kangen.
Pak…Bu…maafkan aku karena sepertinya akulah yang membangun
tembok tak terlihat diantara kita. Maafkan aku yang mengecilkan waktu untuk bapak
& ibu memberikan perhatian dan rasa sayang padaku. Maafkan aku karena
sepertinya akulah yang membuat bapak & ibu merasa menghubungiku adalah
menggangguku. Maafkan aku bila sepertinya aku yang mengurangi kesempatan bapak
& ibu untuk mengutarakan dan mengobati rindu. Maafkan aku karena sepertinya
akulah yang membuat diriku menjadi kaku. Maafkan aku yang tak memanfaatkan
waktu pulangku tercurah kepada engkau, malah pada benda mati ini yang tak
berperasaan. Pak..Bu…aku kangen. Maafkan aku yang telah sok menjadi kuat, sok
menjadi hebat, sok menjadi mandiri yang nyatanya membuat aku makin kaku dan
membuat bapak & ibu tak bisa dengan bebas memperlakukanku seperti anak
kecil. Duh..pak..bu..maafkan aku dengan semua kekerasan kepalaku, maafkan aku
dengan semua kata-kata kakuku yang seakan tak ingin melanjutkan pembicaraan. Duh,
pak bu..maafkan aku bila selama ini hanya bisa merepotkan engkau, maafkan bila
seama ini aku kurang menghargai, maafkan bila selama ini aku sering membuat bapak
& ibu bingung bagaimana cara memperhatikanku sedangkan aku sering
menolaknya. Maafkan karena ke sok kemandirian dan ke sok kuatanku membuat bapak
& ibu bingung, maaf Pak, maaf Bu. Maafkan aku bila sering lupa betapa
rajinnya bapak & ibu mendoakan anak-anaknya selepas sholat fardhu. Maafkan
aku yang sering lupa betapa seringnya bapak dan ibu bangun tengah malam hanya
untuk mendoakan anaka-anaknya. Maafkan aku yang sering lupa betapa seringnya
bapak & ibu meluangkan waktu ketika anak-anaknya ujian agar anaknya mendapatkan
kemudahan. Maafkan aku karena tak sanggup mengucap kata rindu, hanya lewat
tulisan aku bisa bercerita. Maaf bila aku telat sadar, maaf bila aku belum
pernah membahagiakan bapak & ibu. Maaf bila kasih sayang dan perhatian yang
bapak & ibu berikan belum bisa aku balas walaupun bapak & ibu tak
berharap banyak. Maaf bila sikapku selama ini hanya membuat bapak & ibu
pilu. Semoga bapak & ibu di sana selalu diberi kemudahan, kekuatan,
kesehatan, dan segala sesuatu yang barokah. Semoga bapak & ibu di sana
selalu dalam perlindungan-Nya dan diberikan umur panjang yang manfaat. Aku di sini
akan berjuang sekuat tenaga agar rasa rindu itu tak tumbuh sia-sia, agar ia
terbalas dengan kebahagiaan. Terima kasih untuk semuanya Pak, Bu.
Aku kangen.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu