Belum genap tiga jam sejak pertanyaan dokter yang membuatku
malu terucap dari bibirnya. Ya, aku baru saja pulang dari poliklinik milik
kampusku, Bumi Media Ganesha. Karena kondisi yang kurang fit sejak beberapa
hari yang lalu aku memutuskan untuk pergi ke BMG supaya bisa mendapatkan obat
dengan harga mudah dengan harapan sembuh lebih cepat dibandingkan ketika aku
tak minum obat.
Memang benar, dokter yang memeriksa ku kali ini berbeda dari
biasanya, tapi masih seumuran. Memang benar asisten dokter yang memeriksa ku kali ini bukan mas-mas melainkan mbak-mbak.
Tak ada yang spesial memang dari keduanya. Dokter dengan pertanyaan klise
sebagai pembuka percakapan sebagai bumbu agar proses diagnosa penyakit tidak
terlalu kaku atau bahkan mbak-mbak asisten yang tak terlalu banyak bicara
selain untuk mengukur tekanan darahku.
Rasa Maluku belum muncul, paling tidak sampai dokter yang
tidak ku tahu namanya itu bertanya padaku, “Merokok mas?” Sesaat aku terdiam
lalu menjawab ,”Saya bukan perokok, Dok” dan dibalaslah jawabanku, “Tapi
teman-temannya merokok?” Aku hanya tertawa kecil dan tersenyum. Begitu malunya
aku untuk mengakui bahwa aku pernah merokok. Ya, aku pernah merokok. Namun aku
tak mengakuinya dan aku pun tak memungkirinya, aku hanya berkata bahwa aku
bukan perokok, walaupun aku pernah merokok. Begitu malunya aku ketika harus
mengakuinya pada dokter yang memeriksaku tadi bahwa aku membakar beberapa belas
ribu uangku demi asap putih yang ku tahu pasti ada begitu banyak zat kimia yang
mampu membunuhku seperti mereka membunuh tiga saudaraku.
Aku memang telah mengenak rokok sejak usiaku enam tahun, ya
enam tahun. Tak terpaut jauh dari perkenalanku dengan secangkir kopi hitam
pekat kesukaan ayah asuhku. Kopi dan rokok, sudah ku cicipi ketika umurku masih
begitu muda. Aku memang pernah merokok, tapi aku bukan perokok. Begitu malunya
aku bila harus mengingat masa sok kayaku dengan membakar uang yang pastinya
dapat lebih bermanfaat untuk urusan lain. Begitu malunya aku ketika menyadari
bahwa aku meracuni diriku sendiri dengan penuh kesadaran. Begitu malunya aku
bahwa aku berteman dengan pembunuh tiga orang saudaraku. Begitu malunya aku
ketika menyadari bahwa tak banyak manfaat yang didapat ketimbang kerusakan yang
ditimbulkan dari benda silinder yang kan pupus menjadi asap itu.
Aku teringat kisah dari seorang sahabat baikku yang tlah
kuanggap sebagai saudara. Dia pernah bertanya kepada ayahnya,
“Yah, ayah dulu perokok apa bukan?”
Ayahnya menjawab, ”Ya, ayah dahulu adalah perokok”
“Lalu, kenapa ayah berhenti merokok?”
“Ayah engap punya uang buat merokok. Ayah punya tanggung
jawab kepadamu dan ibumu”
Ya, begitulah kisah ayah teman saya untuk berhenti merokok.
Ia sadar betapa banyak hal yang bisa ia dapatkan ketika uang yang ia gunakan
untuk merokok ia alokasikan untuk hal lain.
Coba saja kalian hitung, misalkan tiap dua hari kalian
menghabiskan satu pack rokok seharga
15 ribu rupiah, berarti kalian menghabiskan uang sebesar 225 ribu rupiah tiap
bulan. Bila kalian meneruskan kebiasaan ini selama setahun, kalian sudah menghabiskan
uang 2,7 juta hanya untuk menghirup racun. Nominal itu sudah cukup untuk
membeli kamera digital yang lumayan bagus dipasaran, sungguh disayangkan.
Hei kawan, karena aku menyayangi kalian maka aku membuat
tulisan ini. Karena aku sayang kalian maka aku mengesampingkan rasa Maluku untuk
membeberkan sedikit masa laluku. Karena aku sayang kalian maka aku menyarankan
kalian untuk berhenti merokok, berhentilah kawan karena pasti ada banyak hal
lain yang dapat kalian lakukan ketika kalian tidak merokok dan tidak
menggunakan uang kalian untuk merokok. Berhentilah kawan, berhentilah merokok
untuk hidup lebih kaya dan sehat. Jangan biarkan uang kalian terbuang percuma
atau bahkan hanya menjadi timbunan orang asing yang menanamkan saham di
industri rokok tanah air. Jangan khawatir
kalau kalau industri rokok bangkrut, pasti akan ada pekerjaan lain yang bisa
menghidupi bangsa ini. Pasti ada kekayaan alam yang mampu mengeyangkan perut
bangsa ini. Pasti ada hal-hal lain yang lebih baik yang bermunculan ketika
industri ini tak lagi ada. Tanah kita tanah surga, tanah kita tanah yang
diberkati. Jangan buat Tuhan marah dengan kita menyia-nyiakan dan
menggunakannya tanpa kebijaksanaan. Berhentilah kawan karena perubahan besar
dimulai dari perubahan kecil. Perubahan itu dimulai dari kita.
Salam
Bang Satya
masa lalu lu kelam yak -_- ini agak nyindir aing kayaknya -___-
ReplyDeletePunya dikau lebih kelam, Za? wakaka, tak bisa dipungkiri kayaknya, :D
DeleteGood for you (y) :)
ReplyDeleteHampir setahun, ya?
Deleteentahlah kalau menurut saya cowok yang ngerokok itu ke-kece-annya berkurang 99% hihi :p
ReplyDeletekalau sayang sama diri sendiri dan keluarga, berhentilah merokok :))
Biar kecenya nambah, jangan ngerokok, tapi bikin pabrik rokok :))
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletesusah mas. aku memang enggak emrokok. tapi ortu yang merokok. jadi perokok pasif. yang kena ya yang pasif lebih parah :(
ReplyDeleteSusah? tapi bukan berarti tidak bisa.
DeleteAyah teman saya berhenti merokok karena merasa anak lebih penting daripada rokok (faktor ekonomi). Ada pula ayah teman saya yang berhenti karena rekan saya cemburu dengan rokok ayahnya dan berkata pada ayahnya, "ayah lebih sayang rokok daripada aku". Itu ia katakan ketika masih kecil.