Tadi pagi aku dibonceng teman
sejak ku kecil, Viqi. Bersama dua teman ku yang lain, Rizal dan Agung, kami
pergi ke suatu tempat melewati jalan yang dahulu sering kali kami lewati,
mencium bau tai ayam yang masih saja tercium ketika melintasi peternakan, dan
goncangan halus dari roda sepeda motor yang berputar dia tas kerikil jalan
macadam. Kami pergi, bermain, mendekatkan diri kembali setelah beberapa waktu
berpisah, kami bermain bilyard.
Sepanjang perjalanan aku
bercakap-cakap dengan Viqi, berbicara tentang betapa cepat waktu berlalu. Tak
terasa, sudah sekitar enam tahun sejak pertama kali kami bermain bilyard
bersama. Masih dengan orang-orang yang sama, tapi jalan yang kini tak lagi
sama. Kami kini memiliki jalan, kisah, dan impian masing-masing. Tak lagi
berjalan pada setapak kecil yang menuju satu titik. Di tengah perjalanan
kulempar pikiranku keluar, ku ucapkan keirianku pada orang tuaku, orangtua
Viqih, orang tua Rizal, dan juga orang tua Agung. Aku iri pada mereka yang
sejak kecil berteman dan kini melihat anak-anaknya berteman dengan anak
temannya. Aku iri, amat iri.
Aku berharap pertemanan,
persahabatan, dan persaudaraan kami akan tetap terjaga. Aku ingin di masa tuaku
aku melihat anak-anakku pun berkawan dengan anak-anak temanku, menikmati indahnya
hari, bermain bersama. Aku ingin di masa tuaku aku bisa bercerita betapa
menyenangkannya waktu kami bersama ketika beranjak dewasa dahulu. Aku ingin
ketika tua nanti aku bisa membanggakan teman-temanku pada anakku. Aku ingin di
masa tuaku anak-anakku iri padaku dan teman-temanku. Aku ingin…
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu