Kebenaran?
Sudah beberapa waktu yang lalu
saya menulis tanpa memberikan nyawa di dalam tulisan saya. Menyisipkan perasaan
dalam katanya. Mengaitkan tiap harapan dengan harapan lain di tiap akhir
kalimat.
Pengantar : kebenaran
Kebenaran, sebuah kata yang nampaknya
dipuja-puja. Sebuah kata yang nampaknya ingin dimiliki oleh tiap orang untuk
menjadi yang paling benar. Sebuah kata yang seolah-olah menjadikan seseorang
seperti dewa tat kala ia memilikinya. Ya, kebenaran. Sebuah kata yang sarat
makna, tapi sering tak sarati pemakna.
Kisah tentang ‘kebenaran’
Ada sebuah kisah tentang seorang
mahasiswa yang mengeluh atas nilai mata kuliahnya. Sebut saja dia si A. Dia
mengeluh karena nilai mata kuliahnya begitu rendah, anggaplah ia mendapat
indeks B sedangkan di luar sana, ada orang-orang yang menurutnya tak pantas
mendapatkan nilai lebih darinya. Seorang yang menurutnya tak pantas menjadi
orang yang beruntung. Orang-orang yang dianggapnya tak masuk logika mendapatkan
nilai yang lebih baik darinya.Dia berkoar.
Rasa jengkelnya memuncak ketika
orang-orang yang jarang kuliah bahkan yang mencontek ketika ujian pun
mendapatkan nilai yang bagus. Ia merasa usahanya seperti kurang dianggap. Ia
merasa benar. Ia berkoar ingin kebenaran ditegakkan ke pada saya. Namun
nyatanya, ia tak berani. Ya, ia tak berani. Hanya sebatas ucapan yang lalu
lalang tanpa banyak arti seperti ribuan mobil yang lalu lalang di jalan simpang
Dago.
Apakah hal ini yang ingin saya
tekankan kepada kalian wahai pembaca? Tentu bukan. Saya ingin menekankan arti
kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang memang benar-benar sebuah
kebenaran. Bukan kebenaran kondisional yang berlaku if-else ataupun if-elseif-else.
Sebuah kebenaran yang merupakan konstanta yang tak dapat diubah lagi.
Lanjut cerita, sejenak dia
terdiam ketika saya menyuruhnya untuk melaporkan kecurangan yang ia temui.
Menyuarakan kekecewaan untuk melegakan hatinya. Namun, dia lebih terdiam dan
termenung ketika saya bertanya.
“Kalau indeks mata kuliahmu A,
apakah kamu masih berkoar seperti sekarang? Merasa kecewa karena mereka yang
kau sebut pencontek dan sering tidak masuk kelas mendapatkan indeks AB?”
Dia terdiam. Dia tersadar. Orientasinya kurang tepat, nilai, bukan ilmu. Dia
khilaf. Alhamdulillah.
Lalu apa arti kebenaran bila ia
kondisional. Mana idealisme mahasiswa yang harusnya dijunjung tinggi kapanpun
dan di manapun. Bukankah harga tinggi suatu idealisme bukan hanya karena
idealisme apa yang dipegang, tapi juga bagaimana dan sekuat apa kita
memegangnya?
Apakah benar demikian kebenaran?
Ketika kita berada di posisi yang tidak menyenangkan kita berkoar lantang bak harimau
kelaparan yang siap menerkam mangsa tanpa ampun hingga mengoyak daging empuk di
leher, tapi ketika kita berada di posisi yang enak kita seperti bento yang
berlaku bak orang buka dan membutakan mata dan hatinya?
Apakah demikian yang disebut
kebenaran? Apakah demikian itu sikap seorang mahasiswa? Bukankah seorang
mahasiswa harusnya memiliki sense kapanpun,
di manapun, dan bagaimanapun keadaan yang ia hadapi? Bayangkan saja bila
pendahulu kita merasa oke-oke saja dengan penjajahan karena ia tetap
mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Takkan merdeka bangsa kita. Kita mereka
karena pendahulu kita benar-benar memperjuangkan hak kita semua tak peduli ia
nyaman atau tak aman. Tak peduli ia kaya atau miskin. Tak peduli ia selalu
kelaparan atau kenyang.
Apakah itu sebuah kebenaran?
Apakah demikian sikap seorang mahasiswa? Silahkan pejamkan mata kalian dan
jawab. Biarkan nalar dan hatimu membimbingmu pada satu kesimpulan dan kepahaman
yang mungkin berbeda tiap orang. Semoga apa yang kita anggap benar memang
sebuah kebenaran bukan sebatas pembenaran atau benar bersyarat. Semoga.
Terima kasih untuk cerita dan
keluhanmu kawan. Kau menjadi pelajaran bagi kami semua.
Jabat erat,
Bang Satya
Buruk.Baik.Menginspirasi.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu