Sumber: alnikahnama.blogspot.com |
Ijab Kabul dan Aku Dahulu
Dulu, ketika ada temanku yang
menikah, aku bertanya dalam hati, “tidakkah terlalu cepat bagimu untuk menikah?”. Tak
hanya satu, tapi sudah ada beberapa temanku yang menikah mendahuluiku.
Lagi-lagi, pertanyaan seperti itu datang menghampiri pikiranku dan seakan-akan
menyeret pikiranku hingga ke dasar.
Aku pernah membaca suatu frasa
“yang abadi itu Cuma perubahan”, mungkin memang benar apa yang diungkapkan oleh
orang tersebut karena nyatanya sekarang pemikiranku berubah. Pertanyaan yang
dulunya terngiang ketika mendengar teman-temanku menikah menjadi sebuah
lecutan, “enak sekali mereka sudah menikah. Kapan aku menikah?”.
Saya iri dengan mereka, terlebih
ada hadis yang menyebutkan
Rasulullah Saw bersabda kepada
Ali Ra: “Hai Ali, ada tiga perkara yang janganlah kamu tunda-tunda
pelaksanaannya, yaitu shalat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap
penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila menemukan laki-laki sepadan
yang meminangnya. (HR. Ahmad)(Abdul Aziz Ar- Ra’uuf). Dan janganlah meminta mahar
yang berlebihan yang akan memberatkan calon suami anak perempuannya.
Terang sekali bahwa teman-teman
saya tersebut telah melaksanakan salah satu dari isi hadis tersebut. Saya
kalah.
Mungkin saya bukanlah
satu-satunya orang di desa, kota, bahkan kampus ini yang ingin segera menikah.
Saya yakin banyak yang berkeinginan demikian, tapi tersandung berbagai kendala.
Ya, saya tau. Dari berbagai kemungkinan kendala yang mungkin antara lain adalah
restu orang tua terlebih apabila kita masih bersekolah atau kuliah. Padahal,
Ridho orang tua adalah ridho Allah, bila orang tua ridho maka Allah pun ridho.
Setiap orang tua selalu ingin
yang terbaik untuk anaknya. Fix, hal tersebut tidak bisa diganggu gugat. Bila
ada orang yang mengaku orang tua, tapi tak ingin yang terbaik untuk anaknya
maka mereka bukan orang tua. Jadi, wajar saja ketika dalam keadaan sekarang
kamu mengutarakan niatmu untuk menikah sontak beliau berdua menolak bahkan
mematahkan keinginanmu. Wajar. Beliau berdua pasti sangat-sangat ingin kamu
sukses. (Asumsikan kamu seorang mahasiswa) Beliau berdua tak ingin dengan kamu
menikah, akademikmu akan terganggu karena memang beda ketika sendiri dan sudah
berkeluarga terlebih bila kamu seorang lelaki yang menjadi penanggung jawab
istri dan anak-anakmu. Namun, apakah hal itu menjadi penghalang kita untuk
menyegerakan menikah? Tentu tidak. Orang tua kita pun manusia, orang tua kita
pun ingin yang terbaik untuk kita.
Saya memiliki kawan yang sudah
ingin menikah. Dia sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi
negeri di negeri ini. Layaknya seorang laki-laki yang memang ingin serius
menjalin hubungan, ia mengutarakan niatnya untuk menikah kepada orang taunya.
Pribadi yang sangat jarang bercerita kepada orang tuanya ini pun membuat kedua
orang tuanya terkaget, “ada apa dengan anak saya?” dalam benak orang tuanya.
Diutarakanlah niatnya, diutarakanlah pandangannya, dan dimintailah pandangan
kedua orang tuangnya. Lantas, apakah kedua orang tuanya memberikan pandangan
yang pro terhadap keinginannya? Ternyata secara umum tidak. Orang tuanya
memberikan pandangan dan mengutarakan keinginan mereka. Orang tuanya ingin ia
menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu. Beruntung, kawan saya itu tidak
menyerah, diterangkanlah rencana yang telah ia buat dalam menempuh pendidikan,
diterangkanlah impian-impian yang ingin ia capai selama kuliah, disebutkanlah
berbagai contoh orang-orang yang tetap sukses meskipun menikah pada usia muda.
Orang tuanya terdiam ketika ia berbicara hingga akhirnya ia membeberkan
berbagai rahasia tentang hal-hal yang ia lakukan yang selama ini mungkin
membuat kedua orang tuanya bertanya-tanya. Air mata tak menolak gravitasi yang
menariknya. Mereka menetes di pipi tiap orang yang ada di ruangan itu. Lanjut
kisah, kawan saya itu mengutarakan niatnya lagi,
ia berkata pada orang tuanya
,”Pak, Bu, saya ingin ketika saya mengutarakan niat saya ini lagi, sudah tidak
ada lasan dari bapak dan ibuk untuk menolak permintaan saya ini. Ketika saya
mengutarakan permintaan saya ini lagi, saya sudah membawa bukti yang membuat
bapak dan ibuk hanya bisa mengiyakan permintaan saya.”
Kawan saya itu pun menyebutkan
syarat yang ia buat sendiri, tapi syarat itu adalah syarat yang mampu memenuhi
keinginan orang tuanya. Win-win Solution.
Lalu, apakah dengan demikian orang tua kawan saya itu menyetujui keinginan
anaknya?
Ibunya berkata, “Ya, dilihat saja
nanti…..”
Apakah pernyataan ibunya tersebut
condong ke ketidaksetujuan? Sepertinya tidak. Kawan saya bercerita, setelah ia
mengungkapkan keinginannya itu ia makin sering ngobrol dengan kedua orang
tuanya, ibunya, dan tidak sedikit dari obrolannya tersebut selalu berkaitan
dengan pernikahan. J
Masih tentang kawan saya tadi.
Tidak puas hanya mengutarakan niatnya ke orang tuanya sendiri, ia menempuh
ratusan kilo meter jarak untuk bertemu kedua orang tua si perempuan. Ya, si
perempuan. Entah apa yang ada di benaknya, pikirku, tapi toh nyatanya dia
melakukannya. Ia bercerita bahwa rasa gugup, deg-degan, dan campur aduk rasa
lain yang dulu ia rasakan ketika mengungkapkan keinginan ke kedua orang tuanya
terasa lagi. Bedanya kali ini dia mengungkapkan keinginan pada orang tua si
wanita. Rasa gugup muncul, tapi dia tetap saja mampu mengatasinya.
Diungkapkanlah tujuan ia menempuh ratusan kilometer itu, ia ingin mengetahui
pandangan ibu dan bapak si wanita tentang menikah ketika kuliah.
Beda orang beda jawaban. Menurut
penuturan kawan saya, di awal hanya ibu dari si wanita yang menjawab sedangkan
bapaknya ada di belakang. Ibunya berkata, “Ibu sebenarnya sudah merasa apa yang
ingin kamu katakan nak, sudah dari waktu yang lalu. Kalian sudah sering
bersama. Kalian sudah bukan anak-anak lagi, umur kalian sudah lebih dari tujuh
belas tahun. Keputusan ada di tangan kalian, tapi apa iya nanti tidak
mengganggu akademik. Silahkan kalian membuat keputusan, tapi kalian harus tau
tanggung jawab dan resikonya.”
Entah apa yang ada di benak kawan
saya itu, mungkin rasa senang ketika mendengar jawaban yang cenderung ke arah
setuju itu. Entah. Namun, lagi-lagi ia menjelaskan rencananya kepada ibu si
wanita itu. Ia menjelaskan lagi syarat-syarat yang ia ajukan pada orang tuanya
dahulu. Ia mengulanginya demi mendapatkan jawaban iya. Ini bukan lamaran, ini
adalah diskusi di mana tiap orang bebas berbagi sudut pandang, ya walaupun kawan
saya tersebut yakin sedikit banyak apa yang diucapkan mempengaruhi pandangan
orang-orang yang mendengarkannya.
Ijab Kabul dan Keirian Saya
Jujur, saya iri pada kawan saya
itu. Saya iri karena ia mampu mengutarakan apa yang ia inginkan. Ia mampu
mengucapkan kata-kata yang tak semua orang mampu saat ini. Saya iri karena dia
bisa membuat saya iri dan ingin melakukan hal yang sama sepertinya. Saya iri
karena dia jauh lebih mengerti makna dari ijab kabul. Saya iri karena ia
menjadikan ijab kabul sebagai salah satu impian yang telah ia rintis sejak
sekarang. Saya iri karena ia sedikit lebih tahu mengapa ketika ijab kabul
diucap banyak air mata tercurah, bukan karena sedih tapi sebuah air mata
kebahagiaan dari rintisan usaha yang dilakukan mempelai. Saya iri padanya.
Semoga saya bisa lekas meniru jejaknya dan semoga dia lekas menjadi contoh bagi
kawan-kawannya. Semoga usaha mu diberi kelancaran kawan. Semoga Allah SWT
selalu bersamamu.
Salam
Bang Satya
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu