Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Ku
duduk terdiam, merenung di lantai dua rumahku. Di sebuah kamar besar yang tak
ku utak-atik sama sekali selama 27 tahun terakhir. Cat yang dulu begitu cerah
perlahan kian kusam tanda kekalahannya melawan sang waktu. Gorder cendela yang
setia pagi selalu ku seret agar sinar mentari dapat memasuki ruangan penuh
kesedihan serta kebahagiaan ini menampakkan ketuaannya, ia kini rapuh, amat
rapuh.
Sudah 27 tahun lamanya aku duduk di tempat
yang sama. Bermandikan cahaya bulan yang sama serta diterpa hembusan angin
malam yang menusuk dinginnya. Ku menerawang kenangan yang begitu indah, tetapi
amat menyedihkan ketika ku menyadari bahwa itu hanyalah sebuah kenangan,
walaupun itu adalah kenangan indah.
Di kamar ini ku terbiasa mengarungi malam berdua dengannya. Memaknai setiap detik waktu
yang berjalan dengan perlahan. Ku amat bisa mengenang setiap kelimat yang ia
ucapkan ketika itu, hari dimana aku melepas status lajangku untuk orang yang
benar-benar menyayangiku, dia. Namun, semua itu hanyalah kenangan indah yang
Cuma bisa untuk diingat, dikenang, diceritakan, atau mungkin dilupakan, ak
lebih dari itu. Kisah yang begitu banyak antara aku dan dirinya sangat
menyakitkan di akhir, bukan karena dia tak ada disini bersamaku, tapi karena
dia tak tahu bahwa aku sangat bahagia memiliki kenangan yang begitu indah
bersama orang yang tepat.
Seminggu stelah pernikahanku, ia yang terkasih
terpaksa harus meninggalkanku. Awalnya aku tak rela, amat tak rela untuk jauh
darinya. Namun apa daya, aku hanya
seorang istri tentara yang amat mencintai negaranya, ini adalah baktinya untuk
negara.
Pagi itu ia berpamitan padaku, istri pertama
dan terakhirnya. Ketika kuingat perpisahan itu, dapat kurasakan betapa lembut
bibirnya menyntuh kening ini. Perlahan, tangannya kian terangkat. Terbuailah
aku dalam pelukan orang yang takkan ada di sisiku untuk beberapa bulan kedepan
itu. Hanya isakan tangis yang terdengar awalnya. Namun kata-katanya
menenangkanku, “aku sayang kamu dik”. Hatiku tenang, tapi air mataku tak bisa setenang hatiku, ia meneteskan beribu
banyak butiran air mata berisikan rasa sayang, rasa khawatir, dan doa yang
kupanjatkan untuka dia. Aku berdoa perlukan seperti ini, lembut ciuman ini yang
kan kurasakan beberapa bulan lagi.
Setiap hari selepas kepergian suamiku, selalu
ku duduk di tempat yang sama ini. Selama 27 tahun lamanya menanti dia datang. Ketika
ku mulai bosan menanti, mulailah kuputar memori indah dalam otak ini. Ia kan
membrikan semangat baru padaku untuk mengarungi malam yang kelam sendirian.
Begitu lah seterusnya hari demi hari, bulan demi bulan. Keluargaku sangat
khawatir padaku kala itu. Seringkali bapak, ibu, dan adik mengingatkanku untuk
tidak melanjutkan penantianku. Namun apa dayaku, aku hanyalah seorang istri
tentara yang kian renta termakan kerasnya dunia. Hanya menanti yang mungkin
bisa kulakukan. Aku sadar sepenuhnya bahwa akan tiba masa kami kan bersama,
Karena itu aku terus menanti hingga ia datang. Bukan dirinya bersama panjangnya
cerita pertempuran, melainkan kematianlah yang kunantikan. Hanya kematian yang kan mengakhiri penantian ini
agar aku bisa bersama dengan dirinya lagi. Suami yang sangat kucintai telah
lama ku ketahui gugur dalam medan pertempuran tak lama setelah keberangkatannya.
Ia tertembak oleh pasukan negeri antah berantah yang ingin menjajah negeri ini
katika ia menolong rekannya yang terkena serpihan bom. Mungkin aku gila, ya,
aku emmang sudah gila menghabiskan waktu
puluhan tahun hanya untuk memutar kenangan bersama dirinya. Namun, apa mau
dikata, aku adalah gadis pertama yang ia cintai dan hanya aku yang ia cintai
hingga akhir hayatnya. Setiap hari ketika di camp pasukan, ia selalu
meyempatkan menulis surat walaupun ia
tak mengirimkannya. 17 buah surat telah tercipta, tanda 17 hari ia telah jauh dariku.
Aku ada di hatinya ketika ia meninggalkan dunia. Bila ia bisa, aku juga pasti
bisa untuk tetap mencintainya sepanjang hidupku hingga maut yang menjadi
tamuku.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu