Orang tua, suasana rumah, dan
kawan, itulah beberapa hal yang menjadi daya tarik untuk kembali pulang bagi
kami para pejuang perantauan. Ya, apa lagi selain ketiga hal yang sangat
berarti itu, mereka selalu bisa menarik kami untuk pulang ke kampung halaman
kami ketika memang ada kesempatan.
…..
Tiga hari, waktu yang sebenarnya
aku punya untuk pulang ke rumah. Sabtu, Minggu, Senin, adalah waktu-waktu yang
memungkinkanku menikmati ketiga hal yang selalu bisa menarikku merebahkan badan
di tempat tidur yang selalu nyaman itu. Tiga hari yang aku rasa cukup untukku
pulang walaupun tak bisa sepuasnya aku nikmati tapi toh nyatanya aku tak
pulang. Aku masih di sini, di kota rantau, Bandung, ketika teman-teman ku yang
lain pulang ke rumahnya masing-masing dan menikmati tiga hal yang aku sebutkan sebelum
ini. Walaupun nyatanya, banyak diantara temanku yang lain yang masih di sini,
di kota rantau tanpa bisa plang ke kampungnya karena satu atau dua alasan.
Beruntung, orang tuaku datang.
Beruntung, aku masih bisa bertemu orang tuaku dalam sempitnya waktu perantau
walau untuk 23 jam saja. Ya, benar-benar 23 jam saja. Beliau datang kemarin
pagi dan pulang ke Lumajang pagi ini, baru saja. Seharian kami bersama,
seharian kami bisa saling bercanda, saling melempar pandangan orang tua dan
anak. Seharian kami bisa berinteraksi, jauh lebih bermakna mungkin ketimbang di
rumah karena kami tahu ada waktu yang tak boleh dilalukan begitu saja tanpa
makna yang dalam. Karena kami sadar ada waktu yang tak boleh kami siakan
padahal kami tak punya waktu selamanya
untuk saling berucap ini dan itu.
Pertanyaan demi pertanyaan saling
kami lempar sebagai penyambung obrolan kami. Pertanyaan khas seorang anak ku berikan,
pun pertanyaan dan jawaban khas orang tua yang selalu menyayangi anaknya yang
aku terima. Bukan penolakan melainkan sebuah pengertian. Bukan sekedar
peng-iyaan, melainkan pula sebuah semangat untuk meneruskan. Orang tua memang
selalu bisa menjadikan anaknya merasa dibanggakan, membuat kami, anak, kuat
untuk berjalan kembali bahkan berlari. Padahal kami, anak, tahu betul bahwa di
balik senyum dan semangat mereka, pasti ada letih dan lelah yang disembunyikan
dari kami para anak. Namun, mereka tetap saja memberikan performa terbaik
mereka ketika di hadapan anaknya. Jauh melebihi performa penyanyi-penyanyi atau
artis yang bahkan dengan bayaran ratusan juta sekali tampil. Orang tua,
merekalah artis sejati yang selalu bisa membuat kita sebagai anak merasa semua
baik-baik saja,dan semoga memang selalu baik-baik saja. Pun akan lebih baik dengan
hadirnya kita.
….
Tulisan ini semakin melebar, ku
akui melebar, tapi tak mau ku batasi karena hasrat menulisku tak hanya sesempit
itu karena yang ingin ku bagikan terlalu kaku bila harus ku batasi dengan
aturan kerangka tulisan yang begini begitu. Tulisan ini kembali mengalir menuju
hulu, hulu perasaan tempat rasa orang tua dan anak bertemu.
(hampir) dua puluh tahun aku
merasakan kasih sayang Allah, pun kasih sayang orang tuaku. Hampir selama itu
pula aku belajar menjadi seseorang yang dewasa, atau paling tidak untuk
terlihat dewasa. Namun, apa daya, sampai kapanpun aku tetaplah anak yang membutuhkan
kasih sayang orang tua, sekecil apapun itu. Toh, nyatanya aku di sini, susah
payah di sini untuk membahagiakan orang tuaku, cita-citaku? Itu urusan lain,
itu hanya turunan setelah aku tau bahwa kebahagiaan orang tuaku lah yang
terpenting.
Aku tak ingin gagal menjadi
seorang anak dengan tak bisa membuat mereka bangga memiliki anak sepertiku, aku
tak ingin gagal menjadi anak dengan membuat mereka malu memiliki anak seperti
aku. Aku ingin membuat semua lelah dan letih yang mereka rasakan menjadi hambar
dengan segala hal yang bisa mereka banggakan dariku. Aku ingin.
….
Waktu begitu cepat berlalu, hari
Minggu tanggal 30 Maret 2014 begitu cepat berlalu. Pagi, siang, hingga sore
seakan menyambung tanpa jeda. Memang begitu faktanya. Namun, sesingkat itukah?
Iya. Sangat singkat, tapi tetap saja dalam keterbatasan waktu itu aku masih bisa
merasakan banyak hal yang aku rindukan. Meskipun dalam waktu yang singkat itu,
aku masih bisa merasakan sentuhan lembut ibuku pada rambutku dengan belaian
lembutnya yang selalu bisa membuatku merasakan nyaman hingga akhirnya kami
bertiga tertidur di lantai hanya beralaskan karpet yang tak sepenuhnya menjadi
alas tubuh kami. Dalam waktu yang sesingkat itu.
Salam,
Bangsatya
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu