Semakin menua apa yang
kita jalin
Pertanyaan bergantian
menunggu untuk terjawab
Tanpa jeda bahkan
Walaupun mereka saling
menutupi yang lain
Semakin lama kita
bersama
Makin banyak ini itu
yang tak ku suka
Pun tak kau suka
Namun bukan pengertian
yang kita dapat
Justru perselisihan
yang dengan rela menghampiri
Karena ketidakadaan
niat untuk saling mengerti, berbagi
Aku tak menyukaimu
Bukan sepanjang waktu
tak menyukaimu
Tapi ketika tatapanmu
yang itu menjadi santapanku
Engkau tak mengerti
perasaanku kala itu
Atau memang kah engkau
tak mau tau?
Banyak hal yang aku
relakan
Begitu banyak yang ku
relakan
Melepas ini itu demi
sesuatu yang kini makin banyak pertanyaan
Tidak
Aku takkan
membandingkan apa yang aku relakan
Pula yang engkau
relakan
Tak layak bagiku
membandingkannya
Namun pernah kah
engkau bayangkan betapa hatimu terluka
Ketika orang yang kau
perjuangkan, sayangi, bahkan dambakan
Mendaratkan pandangan
remeh dan tak bertuan seperti yang engkau lakukan beberapa waktu yang lalu?
Seperti murid yang
dianggap sampah oleh gurunya
Walaupun tak layak
seorang guru berpikir demikian
Ampas
….
Sebelum bertemu
denganmu
Aku pernah bertemu dengan
banyak orang
Ya banyak orang
Dengan sifat
masing-masing
Namun tak pernah ku
jumpai seseorang yang dengan sekalinya muncul kesalahan
Semua kebaikan seakan
tak pernah terjadi
Ketika sebuah
kesalahan datang
Semua kebaikan seakan tak
bisa diperhitungkan
Memojokkanku dalam
sudut kesalahan
Menekan kepalaku
hingga harus menyentuh dasar ego
Tidakkah engkau
merasakannya?
MAU kah engkau
merasakannya?
Merasakan sesuatu yang
bahkan tak pernah terpikir akan kau rasakan
Merasakan sesuatu yang
bahkan orang lain tak mau rasakan
Merasakan pahitnya
hilangnya kepercayaan
….
Engkau gadis yang
begitu lihai memainkan hatiku
Engkau gadis yang
begitu sering bisa membuatku kebingungan
Dengan sedikit air
mata kau keluarkan
Runtuhlah semua egoku
dan lahirlah sesalku
Dunia seakan bisa
terbeli oleh air matamu
Walaupun hanya
beberapa tetes
Dunia seakan bisa kau
tundukkan walaupun dengan beberapa isakan
Sorotan mata yang
berkaca-kaca itu
Dengan bibir yang
seakan membaca mantra
Ditambah kesan sampah
yang kau berikan
Semuanya seakan
menjadi sihir yang mampu meninggikanmu hingga semua bisa menjadi seperti yang
engkau mau
Hina
Hina
….
Entah sejak kapan aku
termakan oleh sihir ini
Entah sejak kapan aku
berubah menjadi selemah ini
Ku tahu pasti aku yang
dulu takkan semudah ini menundukkan kepala
Apalagi hingga
menyentuhkan kepala ke dasar ego
Ku tahu pasti bahwa
aku yang dulu takkan segan membalikkan keadaan
Hingga engkau yang
tadinya menundukkan kepala takkan lagi bisa melihatku
Bukan karena engkau
yang terlalu tinggi
Melainkan karena
kepalamu ku sentuhkan pada dasar egomu
Aku menyayangimu jauh
dari orang lain selain keluargaku
Tapi bukan kamu yang
seperti ini
Bukan kamu yang tak
segan walaupun tahu itu salah
Dengan mudahnya
memberiku hadiah tatapan remeh tanpa kepercayaan
Ucapan keraguan
padahal nyatanya engkau pun tak sempurna dan aku tak selamanya salah
Engkau yang
mengedepankan emosi hingga mengeluarkan kata yang jadi racun dalam dada
Lantas dengan mudahnya
berkata maafkan aku yang salah
Kau pikir semudah itu?
Kau pikir hanya kamu
yang ingin dimengerti dan tak disakiti?
Tidakkah kau berpikir?
Aku pun berpikir.
Bandung-Lumajang-Surabaya-Malang-Jember
2011-2014
Terima kasih kepada kawan-kawan yang selama ini mau berbagi
cerita. Pun rekan-rekan yang mau mendengarkanku bercerita. Terima kasih untuk
setiap cerita yang selalu ada nilai di dalamnya. Puisi ini untuk kalian, kawan.
Anyaman perasaan kita yang tercurah dalam berbagai cerita.
Salam,
BangSatya,
Pemuda 19 Tahun – Salah satu penyusun anyaman
Buruk.Baik.Menginspirasi
Kereeeeennnnnn ~
ReplyDelete