Semester 6 lalu, saya dan dua orang rekan saya yakni Riky dan Tutut mengerjakan tugas mata kuliah Sistem Informasi. Nah, karena harus benar-benar datang ke suatu perusahaan, akhirnya kami mengajukan proposal pembuatan sistem informasi ke suatu perusahaan reparasi barang elektronik. Beruntung, di akhir pengerjaan proyek, si bos perusahaan tersebut memberikan “hadiah” berupa makan-makan gratis. Alhasil, kami bertiga makan di Hanamasa pada Selasa, 26 Januari 2016 kemarin. Yah, lumayan walaupun sudah tertunda hampir enam bulan lamanya. Haha
/**/
via hanamasaresto.com |
Bagi yang belum tau, Hanamasa adalah restoran dengan gaya all you can eat makanan Jepang. Jadi, pembayarannya dihitung per orang. Satu orang akan dipatok dengan harga tertentu dan bebas makan sesuka hati sampai kenyang-lapar-kenyang. Ambil bahan sendiri seperti daging ayam, ikan, sapi, sayur, dan lain sebagainya lantas memasaknya sendiri pada tempat masak yang ada di meja. Enak ya? Pada kesempatan perdana saya dan RIky kemarin, kami memilih Hanamasa Dago yang kalau diakses dari ITB tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit saja kalau naik motor. Komentar saya setelah pertama kalinya ke Hanamasa adalah, “saya tidak akan ke sini lagi”, hahaha.
Bagi saya, lidah saya tidak terlalu cocok dengan makanan yang bumbunya tidak kuat. Jadi wajar saja kalau saya kurang suka kemarin karena ambil bahan sendiri, lapisi minyak sedikit, dan masak. Jadi bumbunya pasti tidak benar-benar meresap sehingga aroma dasar dari bahannya masih sangat terasa (sebenarnya tergantung lama masaknya juga sih dan bahannya). Selain itu, harganya itu lho hahaha, dengan iming-iming all you can eat, saya jadi lupa bahwa perut saya punya batas. Paling ya makan ini itu sudah kenyang dan tidak bisa nambah lagi. Hahaha. Perhitungan ya? Iya lah, hahah.
Namun, menariknya, variasi makanan yang ada di Hanasama ini banyak sekali. Daging ini, daging itu, olahan ini, olahan itu, ada banyak. Saya saja tidak tahu semua nama-nama bahan yang disajikan. Asal ambil saja, hahaha. Mungkin, ini yang paling menjadi daya tarik bagi orang-orang untuk datang. Namun bagi saya, saya lebih suka masakan pinggir jalan, makanan yang agak lama dimasaknya, dimasak oleh koki, dan bumbunya kuat. Ya, masalah selera saja sih.
Nah, akhir kata, Hanamasa memang menyajikan pola makan dan variasi makanan yang banyak. Banyak orang suka, tapi bagi saya dengan lidah desa ini, sepertinya saya tidak cocok makan di sana. Duh, dasar ilat ndeso.
/**/
Salam,
Aryya Dwisatya W
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu