Sebagai mahasiswa tingkat empat atau sering disebut sebagai mahasiswa tingkat akhir sudah barang tentu ada banyak hal yang dipikirkan. Kehidupan pasca sarjana merupakan salah satu hal yang pasti dipikirkan bahkan dirisaukan oleh mahasiswa tingkat empat. Ada banyak hal yang terkait kehidupan pascasarjana seperti pekerjaan hingga pernikahan. Masing-masing orang memiliki sikap yang berbeda mengenai hal tersebut. Ada yang sejak kuliah sudah mencari pekerjaan hingga mencari calon untuk menjadi pendamping wisuda (PW) lalu pendamping di pelaminan nanti.
Menyiapkan (Untuk) Pernikahan
Bagi yang sudah memikirkan
pernikahan pada tingkat ini, mulailah dia berpikir tentang apa, siapa, dan
bagaimana sebuah pernikahan tersebut terjadi, terjalin, dan hidup. Beruntung,
saat ini internet sudah mudah diakses sehingga informasi terkait hukum
pernikahan, motivasi menikah, tata cara menikah, hingga bagaimana menjalin
rumah tangga bisa didapatkan. Ada pula yang merasa semua itu tidak cukup hingga
mengikuti kegiatan yang biasanya disebut “Sekolah Pra Nikah” (SPN).
Saya jadi teringat sebuah kisah
tentang seorang anak muda yang ingin menguasai suatu ilmu, berkelanalah ia ke
kota A untuk bertemu orang pintar di sana. Sesampainya di sana, si pintar
tersebut tidak bisa mengajari pemuda itu dan menyuruhnya pergi ke kota B untuk
bertemu dengan si pintar lain. Demikian secara terus menerus pemuda tersebut
mengunjungi puluhan kota hingga pada akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang menyuruhkan
pergi ke kota X yang mana adalah kota asalnya sendiri dan di sanalah ia
mendapatkan ilmu yang ingin ia kuasai yakni dari ibunya sendiri.
Yang ingin saya utarakan adalah,
terkadang kita mencari sesuatu terlampau jauh hingga tidak melihat apa yang
dekat. Sering kali kita belajar dari orang yang tak kita kenal padahal orang di
sekitar kita lebih nyata. Saya benar-benar ingin bertanya, pernahkah kita
bertanya pada orang tua kita tentang apa yang ingin kita ketahui? Atau kita
selalu berasumsi, “ah, mana orang tuaku tau”? Untuk kasus pernikahan, pernahkah
kita belajar secara langsung pada orang tua kita bagaimana cara menikah,
bagaimana cara membangun keluarga, dan bagaimana cara mendidik kita? Saya yakin
orang tua kita adalah guru terbaik untuk hal ini ketika kita tetap menggunakan
akal dan hati kita.
Lain-Lain
Sejujurnya, saya pun tak pernah
secara tersurat bertanya, “Pak, Bu, bagaimana cara membangun keluarga?
Bagaimana cara membesarkan anak?” Tidak! Sama sekali saya tidak pernah bertanya
demikian. Yang salah lakukan adalah belajar dari keseharian orang tua saya.
Bagaimana orang tua saya memperlakukan saya dan kakak saya, bagaimana bapak
saya memperlakukan ibu saya, dan sebaliknya. Sesederhana itu.
Beberapa waktu lalu sering kali,
saya membaca tulisan tentang, “Masak dan mencuci bukan tugas istri.”, Pikir
saya, ya masak beginian saja diperdebatkan. Hal yang begituan ya barang tentu
tugas bagi yang sedang bisa melakukan. Kalau lapar ya masak, kalau baju kotor
ya dicuci. Sesederhana itu. Paling tidak itulah yang saya dapatkan dari kedua
orang tua saya. Ketika ibu saya terlelap karena lelah bekerja maka bapak saya
mencuci pakaian. Ketika bapak saya membersihkan kebun belakang maka ibu saya
yang memasak. Ketika ibu saya pergi penataran maka bapak saya yang memasak.
Sesederhana itu. Sungguh saya sangat menyayangkan diri kita yang tidak bisa
belajar banyak dari orang tua kita sendiri malahan pergi untuk mencari orang
lain untuk mengajari sesuatu yang orang tua kita capable untuk melakukannya. Sekali lagi, saya hanya ingin kita
lebih menghargai dan ngangsuh kawruh
(menimba ilmu) dari kedua orang tua kita.
Maafkan tulisan random saya ini.
Salam,
Aryya Dwisatya W
Seorang anak dan suami.
[*] Pada suatu ketika barulah
saya mengetahui bahwa orang tua saya merupakan contoh keluarga harmonis dan
bapak pernah mengisi sosialisasi di kecamatan tentang membangun keluarga
harmonis.
cermin terdekat untuk tahu seberapa bagusnya sebuah keluarga adalah orang tua. tapi kadang ada juga orang tua yang broken home, dan anak jadi takut untuk memulai diri menikah dengan seseorang. atau anak punya trauma karena kekerasan yang dilakukan oleh salah satu orang tuanya. mungkin ini yang jadi sasaran pra nikah kali ya. biar tahu seberapa pentingnya mengetahui bahwa pernikahan nggak melulu yang bahagianya aja.
ReplyDeleteSebenarnya sederhana, dari orang tua kita bukan hanya bisa belajar kita harus seperti apa melainkan juga kita tidak boleh seperti apa. Justru saya enggak yakin kalau di pra nikah diberikan contoh-contoh yang tidak baik lho. Kalimat saya sebelumnya harus dikonfirmasi oleh yang pernah mengikuti sekolah semacam itu sih.
Delete