Setelah tahu bahwa rata-rata waktu yang saya butuhkan untuk membuat tulisan hanya sekitar 20 menit maka saya menyempatkan membuat tulisan hari ini. Supaya? Supaya saya terbiasa lagi menulis, menghilangkan rasa jenuh, dan berbagi pendapat maupun pengalaman. Walaupun sedang banyak tugas yang harus dikerjakan. Mari kita mulai.
Suatu ketika saya membaca status line seorang adik tingkat yang kurang lebih isinya seperti berikut.
"Persamaan yang menyatukan kita, tapi perbedaan yang menguatkan."
Awalnya oke-oke saja hingga ada satu pertanyaan yang jleb banget.
“Tapi kalau beda agama gimana kak?”
Gotcha! Pertanyaan pamungkas keluar, dan suasana menjadi hening. Mungkin karena belum ada jawaban yang bisa memuaskan banyak pihak terkait pertanyaan tersebut.
Cin(t)a
Salah satu film yang menurut saya patut ditonton terkait perkara ini adalah Cin(t)a. Film yang mengambil latar tempat kampus ITB dan tokoh nya yakni mahasiswa ITB ini bercerita tentang dua orang yang saling suka bahkan sayang, tapi berbeda agama. Mereka sama, sama-sama menyayangi, tapi beda, beda keyakinan, beda agama. Pada akhirnya? Ketika sering kali dalam beberapa kesempatan ditampilkan testimoni hangatnya keluarga yang berbeda agama, tapi ada raut kesedihan dari dua tokoh utama tersebut ketika giliran mereka memberikan testimoni selesai. Mereka bersama? Tidak. Mereka berpisah.
Bagian yang paling saya suka dari film ini adalah ketika si lelaki berkata,
“Kau suruh aku pindah Islam pun aku mau”
Lantas si perempuan menjawab,
”Kalau Tuhan saja bisa kau khianati , lantas bagaimana dengan aku?”
Cinta Tapi Beda
“Tuhan, kami memang berbeda, tapi kalau kami saling mencintai, tidak dosa kan?”
Terkadang kita bisa mencintai seseorang begitu dalam tanpa perlu orang lain tau. Namun, bila harus berlanjut ke jenjang kehidupan yang lebih serius, sepertinya hal ini sangat patut dipertimbangkan. Cinta tidak hanya menyatukan dua insan manusia, ketika ia berlanjut ke pernikahan, maka kedua keluarga pun menyatu.
Sejujurnya apa yang saya tuliskan di sini hanya opini dengan pengamatan yang sangat dangkal. Saya tidak pernah bertanya kepada orang-orang yang menikah berbeda agama. Nenek saya non muslim, tante saya muslim dan menikah dengan non muslim. Kami semua baik-baik saja walaupun dalam pikiran saya pasti tidak mudah untuk menjalani hidup yang demikian.
Kalau nanti punya anak, anaknya nanti beragama apa? Kalau nanti ada ibadah yang harus diikuti pasangan tapi dalam agama pasangan dilarang, bagaimana? Dan sebagainya. Paling tidak itu pertanyaan-pertanyaan yang baru terbayang saat ini.
Pada Akhirnya Kita Harus Memilih
Yang saya yakini adalah setiap orang berhak untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Saya pernah ngobrol dengan seorang kawan saya yang beragama Katolik, satu pernyataan yang saya suka dari dia,
“Yang bisa kita lakukan sekarang adalah berusaha dengan kebenaran yang kita yakini. Perkara itu kebenaran sejati maka hanya Tuhan yang tahu dan bisa menilai.”
Well, saya sangat suka pernyataan tersebut di tengah kemudahan dalam men-judge¬ baik-buruk atau halal-haram terhadap sesuatu. (Untuk menjelaskan tentang pernyataan tersebut, lain kali saya akan mencoba menulis tentang Nabi Khidir).
Bila engkau mencintainya, silahkan engkau memilihnya. Bila agamamu melarang untuk bersatu maka pilihlah antara Tuhan mu atau cintamu. Pada akhirnya kita harus memilih karena kita tak bisa duduk di antara dua kursi terlebih ketika ada salah satu kursi yang ditarik.
.....
Begitu dekat, tanpa sekat, melekat
Begitu rindu, saling menunggu, tapi tak bisa menyatu
Begitu mencinta tapi berbeda nyata
Ingin memiliki tapi hanya bisa dalam mimpi
Berjalan bersama tapi akhirnya berpisah
Saling bergandeng tangan tapi akhirnya melepaskan
Saling memeluk tapi akhirnya tersadar
Bahwa yang berbeda tetap akan berbeda
Hingga ada yang berubah
Sampai akhirnya kita sama
Dan kita bisa bersama
Menyatu dalam sama
Cinta
....
Semoga tulisan ini memberi manfaat dan pencerahan. Saatnya mengerjakan tugas kuliah.
Salam,
Aryya Dwisatya W
Seorang suami yang sesekali memandangi istrinya ketika membuat tulisan ini dalam waktu 20 menit 20 detik.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu