Silaturahmi Melancarkan Rejeki
/* Tulisan ini dibuat sebagai
pembuka waktu lembur saya di rumah demi menuntaskan ADT yang menjadi tugas
selama beberapa waktu kedepan supaya liburan minggu depan bisa saya nikmati
sepenuhnya */
Sabtu, 5 Oktober 2013.
Sekitar pukul 07.30 saya tiba di
stasiun kota Malang setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih enam belas
jam. Yoman, enam belas jam perjalanan dari Bandung ke Malang menggunakan kereta
Malabar Ekspress kelas ekonomi (perlu banget di sebut). Sebenarnya, sejak awal
naik kereta saya agak kaget karena ada
beberapa perubahan di kereta ini yaitu adanya colokan listirk di kereta kelas
ekonomi. Setelah saya cek di internet, ternyata beritanya udah agak lama
(keliatan kurang sering baca berita), pantas saja harga tiketnya naik jadi 200
rb.
Percakapan di Kereta Malabar Ekspress Kelas Ekonomi
Oke, beres bahas harga tiket. Jadi,
sekitar pukul 21.00 saya pindah tempat duduk dari 4A ke 4C, otomatis, saya
berada di sebelah jalan tempat orang lalu lalang. Tiba-tiba ada suara asing
yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
“STEI ya?”, ujar pria tersebut
“Iya, kok tau kak?”, jawabku
“Tau dong, soalnya kamu bawa buku
itu (sambil menunjuk buku Matematika Diskrit karangan Pak Rinaldi Munir.”
“Iya, saya STEI juga kok, tapi S2”
“Oh iya? Ambil jurusan apa kak?”
“Magister Informatika”
“Emang passionnya di sana, Dek?”
“Iya mas”
“Wajar sih kalau gitu kamu bawa
buku itu, kalau enggak passion mah
mana suka”
Langsung saja saya menyodorkan
tangan untuk berkenalan, ternyata namanya Wahyu. Teringat nasehat salah satu
rekan agar terlihat aktif dalam mewawancarai orang dalam tes wawancara jurnalis
kantor berita ITB, kesempatan ini tidak saya lewatkan sebagai sarana latihan. Usut
punya usut, ternyata dia berasal dari Kalimantan Timur dan merupakan seorang
PNS yang mendapatkan beasiswa S2 di ITB.
Uniknya, dia mengambil beasiswa
tersebut tanpa sepengetahuan orang-orang di kantornya. Menurut penuturannya,
ketika sudah masuk menjadi PNS, biasanya untuk belajar lagi akan dihalang-halangi
oleh atasan. Alasannya? Sederhana saja,
karena ketika pendidikan lebih tinggi otomatis jabatan yang di dapat lebih
tinggi dan tentunya hal ini bisa menggeser posisi atasan yang ada sekarang.
Apakah semuanya demikian? Belum tentu.
Oh iya, dia merupakan mahasiswa
UGM jurusan Geologi tahun 1998. Mendengar angka 1998 saya langsung lebih
tertarik mendengarkan ceritanya dan ternyata benar, ia ikut serta dalam
kejadian tahun itu walaupun kontribusinya membagi makan bagi rekan-rekannya.
Satu hal yang saya tanyakan padanya waktu itu, yaitu tentang orang-orang yang
dulunya menjadi “petinggi” reformasi seperti danlap dan korlap. Berdasarkan apa
yang saya dengar dari Mas Wahyu ternyata orang yang ia kenal sekarang malah
bekerja di perusahaan asing, bukan untuk Indonesia J Padahal awalnya saya mengira
kini mereka menjadi pentolan pemerintahan sekarang membawa semangat yang dulu
mereka bakar.
Selain berbicara tentang
reformasi, kami juga berbincang tentang mahasiswa ITB dan UGM. Ia bercerita tentang
sesuatu yang menarik yaitu doktrin awal mahasiswa ITB dan UGM. Ketika pertama
kali masuk ITB, mahasiswa baru disambut dengan kalimat, “Selamat datang
putra-putri terbaik bangsa” walaupun ketika awal angkatan saya masuk, kalimat penyambutan
kami adalah “Selamat datang calon pemimpin global”. Dari awal kami sudah di sambut
dengan kalimat yang menyiratkan bahwa kami adalah orang-orang yang bukan
pecundang, yakali “terbaik” dan “pemimpin” adalah seorang pecundang. Hal inilah
yang membuat ketika alumni ITB ketika sudah berada di luar menjadi cepat
progressnya karena lebih berani dalam mengambil sesuatu. Berbeda dengan UGM,
berdasarkan cerita Mas Wahyu, ketika awal masuk ia mendapatkan kalimat sambutan
“Selamat datang di kampus ndeso”. Iya, kampus ndeso, oleh karena itu menurut
Mas Wahyu, anak UGM banyak yang minder. Maksudnya ketika berhadapan dengan
orang dari universitas lain ia cenderung untuk, “Silahkan kamu aja, kamu aja dulu”.
Mas Wahyu pun mengungkapkan bahwa apa
yang ia utarakan tersebut tidak selalu benar , tidak bisa dipakai dalam semua
kasus dan asih harus diteliti lebih lanjut karena apa yang ia ungkapkan masih
berasal dari apa yang ia amati. Namun, tetap, hal tersebut adalah sesuatu yang
unik menurut saya terlebih ketika mengingat Teori Labeling yang saya pelajari
ketika Kelas X SMA.
Sebenarnya, bagian yang paling
saya suka adalah ketika bercerita tentang tujuan ia bepergian.
“Mas, mau turun di mana?”
“Di Jogja”
“Ngapain mas? Emang enggak ada
kuliah?”
“Saya mau ketemu istri dek.
Kebetulan sekarang dia sedang kerja di jogja”
“Oooh, jadi PNS juga?”
“Iya, auditor”
“Jadi selama mas sekolah, pisah
dong?”
“Wah, pasti kangen ya mas?”
“Iya, pastinya”
“Udah berapa lama enggak ketemu
mas? Setahun?”
“Enggak kok, sebulan yang lalu
baru ketemu”
“Kirain udah setahun enggak
ketemu”
“Jangankan setahun, Dek. Dua
minggu aja rasanya udah nyut-nyut.
Ntar kalau kamu udah punya istri pasti bakal ngerasain.”
Lantas ia tersenyum,
haha. Saya bisa mengartikan apa arti senyumnya. Lagi-lagi saya dibuat iri
dengan seseorang yang sudah menikah.
/* Sebenarnya ada banyak hal mengejutkan
lain yang ia ceritakan, tapi kurang pantas untuk di post di sini. */
Saya Datang, Rejeki Datang
Cerita kedua ini terjadi kurang
dari enam jam yang lalu. Ceritanya ketika sudah sampai di rumah, seperti biasa
saya membersihkan diri dari kotoran yang melekat selama perjalanan. Awalnya setelah
sholat saya ingin langsung mengerjakan tugas, tapi rencana itu saya ubah
lantaran belum salim ke paman saya
yang rumahnya gandeng dengan rumah
saya.
Awalnya tidak ada niat apa-apa,
tapi tiba-tiba ketika saya hendak berpamitan kembali ke kamar setelah
berbincang tentang kepulangan saya ke Bandung dan kepulangan saya ke Lumajang
pada tanggal 18 Oktober untuk menghadiri acara nikahan kakak, bibi saya
bertanya,
“Le, mau beli HP ta?”
“Iya, Lek, rencananya besok”
“Wah, yaudah, nanti biar
ditambahi sama Lek” ucap paman waktu itu.
Wah, dari awal yang hanya ingin
silaturahmi saja, tapi ternyata rejeki malah datang. Terbukti kan silaturahmi
itu memperlancar rejeki? Terlebih ada hadist yang menyebutkan.
Hadis riwayat Anas bin Malik ra.,
ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah
saw. bersabda: Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan
dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan
(silaturahmi). (Shahih Muslim No.4638)
Lantas, apalagi yang kita tunggu?
Yuk silaturahmi. Karena silaturahmi tidak ada ruginya. :)
*silaturahmi yak, bukan modus!
/* Maaf banget kalau flow ceritanya kacau emang salah
satu hobi saya ngerusak flow, flow yak, bukan Flo. :p . */
/* Silaturahmi enggak hanya
berupa uang kan? Cerita dan nilai pun saya anggap sebagai rejeki :D */
Salam,
BangSatya.
Buruk.Baik.Menginspirasi.
Tertarik sama aktivis yg sekarang banyak kerja di luar
ReplyDeletehahaha, tertarik sama dengungan nasionalisme mereka?
Delete