Pagi tadi saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke toko
buku Gramedia bersama kedua orang tua saya dan satu orang gadis cantik yang
selalu bisa membuat saya nyaman di dekatnya. Seperti biasa, saya mengecek total
buku Carding for Beginner yang sudah
terjual, ternyata di stok online masih sama dengan beberapa hari yang lalu
walaupun di rak buku sudah ada buku yang terjual, updatenya kurang cepat. Apakah kali ini saya akan bercerita tentang buku yang saya
tulis atau buku yang akan saya tulis? Tidak, sama sekali tidak. Kali ini saya
ingin berbagi kisah nyata saya sebagai pengamal yang entah itu sukses atau tidak kepada kawan-kawan sekalian. Sebuah kesadaran tentang
spiritualitas saya. Sebuah kesadaran setelah membaca buku agama yang membahas
tujuh amalan pelejit kesuksesan.
Kisah Nyata Sebagai Pengamal
Cerita ini saya mulai ketika saya SMA. Sebuah tahap ketika
saya benar-benar mencoba ini dan itu. Sebuah tahap saya dengan kuatnya
melakukan sesuatu. Saya berkaca dari keadaan saya dahulu yang mana ketika itu
saya adalah seorang yang menjadi bintang di setiap kelas, menjadi bintang yang
dipandang oleh banyak orang, seseorang dengan beberapa prestasi yang
membanggakan, nilai > 90 yang tak terhitung banyaknya. Kali ini saya akan
membahas keterpurukan saya dari sisi spiritual yang berimbas pada akademik
saya, saya tidak membahas cara belajar atau durasi belajar saya saat ini karena
jelas-jelas durasi belajar dan cara belajar saya saat ini berbeda jauh dengan
dahulu ketika saya SMA, saya terpuruk.
Tujuh Amalan : Wudhu, Tahajud, Sholat Jamaah, mengaji, Dhuha, Puasa, dan Sedekah
Ada tujuh amalan yang saya baca ketika menyambangi toko buku
tadi pagi antara lain: (1) menjaga wudhu; (2) sholat tahajud; (3) sholat jamaah;
(4) mengaji; (5) sholat dhuha; (6) puasa senin kamis; (7) sedekah.
Kisah Nyata Menjadi Pengamal Amalan Pertama: Menjaga Wudhu
Saya memang bukan orang yang terbiasa menjaga wudhu, entah itu dahulu ataupun sekarang sehingga saya tidak bisa bercerita panjang lebar tentang pengalaman saya menjaga wudhu.Kisah Nyata Menjadi Pengamal Amalan Kedua : Sholat Tahajud
Berbeda dengan sholat tahajud, alhamdulillah saya mendapatkan berbagai kenikmatan dengan melaksanakan amalan yang satu ini, ditinggikan derajatnya. Darimana saya tahu Allah meninggikan derajat saya? Sederhana saja, semakin tinggi derajat seseorang, semakin ia dilihat oleh orang lain, benar kan? Semakin tinggi derajat seseorang, orang lain akan memandang kita dengan mengangkat dagu kan? Sederhana saja, mungkin Allah meninggikan derajat saya dengan pencapaian-pencapaian yang Allah berikan pada saya seperti menjuarai suatu kejuaraan, menjadi mahasiswa ITB, menerbitkan buku, dll. Entah apa lagi nikmat yang Allah berikan untuk meninggikan derajat saya, tapi saya yakin amalan ini memang ampuh untuk meninggikan derajat pengamalnya. Trust me, it works. Mungkin ada pertanyaan dari kawan-kawan, Jadi tiap malam saya selalu bangun di sepertiga malam terakhir? Ayo coba tebak, apakah saya selalu bangun di sepertiga malam yang terakhir? Tidak! Saya tidak pernah atau ajrang sekali bangung untuk sholat di sepertiga malam yang terakhir. Lantas, kapan saya sholat tahajud? Saya sholat tahajud selepas sholat isya. Hayo, bingung ya? Berpikir apakah hal tersebut diperbolehkan. Saya dulu juga berpikir demikian, ingatlah bahwa sholat tahajud adalah ibadah sunnah yang bila dilakukan mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan tidak berakibat dosa. Ada suatu hadis yang menyatakan bahwa ada dua orang yang sholat tahajud dengan kondisi yang berbeda. Satu orang sholat tahajud tanpa tidur terlebih dahulu dan orang kedua sholat tahajud setelah tidur. Orang pertama adalah Abu Bakar As Shiddiq, ia adalah orang yang berhati-hati sedangkan orang kedua adalah Umar Bin Khattab, ia adalah orang yang kuat. Pertanyaan sederhana, apakah kawan orang yang kuat? Bila iya, silahkan untuk sholat tahajud setelah tidur, tapi saya pribadi menganggap kita tidak punya kuasa untuk mengatur kapan kita bangun kecuali sudah terbiasa. Alangkah baiknya kita menjadi orang berhati-hati yang sholat sebelum tidur dan melanjutkan sholat ketika terbangun di sepertiga malam yang terakhir. Daripada enggak tahajud, toh? (sayangnya, ketika saya mengedit tulisan ini per tanggal 3 April 2016, saya sudah jarang Sholat Tahajud, padahal Allah selalu meninggikan derajat saya dengan berbagai cara-Nya.)Kisah Nyata Menjadi Pengamal Amalan Ketiga : Sholat Jamaah
Sholat jamaah? Ya sholat jamaah, sepertinya tidak terlalu
banyak perbedaan untuk amalan yang satu ini. Sholat dhuhur dan ashar berjamaah
adalah sholat berjamaah yang paling sering yang saya lakukan entah itu ketika
SMA maupun ketika kuliah. Oleh karenanya saya tidak bisa panjang lebar
membandingkan keadaan dahulu dengan sekarang. Namun, memang, selain ada manfaat dari kuantitas pahala, sholat jamaah juga bisa menjadi sarana untuk bersilatuhrahmi. Setelah sholat, mungkin bisa dilanjutkan dengan bincang-bincang santai sehingga hubungan dengan sesama manusia menjadi semakin dekat. Bukankah silaturahmi membuka banyak pintu rezeki?
Kisah Nyata Menjadi Pengamal Amalan Keempat : Mengaji
Mengaji, membaca Al Quran. Bila ada amalan yang menurun, mungkin
inilah salah satu amalan tersebut. Entah mengapa saya merasa bahwa bacaan
harian saya semakin sedikit saja. Dahulu saya bertekat untuk membaca Al Quran
minimal dua halaman selepas sholat fardhu dan meningkat minimal delapan halaman
selepas sholat fadhu. Namun, makin kesini amalan tersebut makin pudar, ayat
yang saya baca makin sedikit dan makin jarang, sebuah kerugian bagi saya.
Percayakah kamu bahwa setiap ayat Al Quran memiliki manfaat masing-masing? Saya
percaya, saya yakin. Saya yakin setiap ayat memiliki kandungan dan manfaat yang
berbeda-beda, seperti Surat Yusuf ayat empat (4) yang apabila dibaca dengan
sepenuh hati dan berulang kali akan meningkatkan pengasihan (mahabbah)
pengamalnya. Itulah yang saya yakini, sebuah kekuatan dan kenyataan yang
bersumber dari keyakinan.
Kisah Nyata Menjadi Pengamal Amalan Kelima : Sholat Dhuha
Sholat dhuha menjadi sarapan pagi wajib bagi saya dan
kawan-kawa saya dahulu ketika SMA, terutama ketika saya kelas XII. Saya
menyesalkan dua tahun waktu yang berlalu ketika SMA karena sya hanya sholat
dhuha ketika selesai ujian semester. Saya hanya sholat ketika ujian datang,
berharap nilai saya bagus sebagai ganti sholat yang saya lakukan. Itulah yang
saya lakukan ketika saya kelas X dan XI. Ketika kelas XII, saya makin sadar
bahwa sholat dhuha merupakan sebuah kebutuhan bagi saya pribadi, terlebih
manfaat yang ia bawa begitu luar biasa. Beda rakaat beda manfaat, hanya dengan
sholat dua rakaat kita sudah bersedekah untuk 360 ruas tulang yang ada di tubuh
kita, sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang Allah berikan padahal Allah telah jelas menerangkan apabila
seorang hamba bersyukur maka Allah akan menambah nikmat pada hamba tersebut dan
apabila ia kufur maka azab Allah amatlah pedih. Saya memang masih menjalankan
amalan ini, selalu berusaha menjaganya untuk tetap bisa terlaksana di pagi
hari. Namun, makin hari sepertinya amalan ini makin memudar, dulu saya sangat
bersemangat untuk sholat dhuha delapan rakaat hingga dua belas rakaat atau
lebih, tapi sekarang saya hanya sholat dhuha empat rakaat saja. Sepertiga dari
amalan yang saya lakukan dahulu. Saya jelas-jelas merasakan manfaat dari amalan
ini, terlebih dahulu. Saya meyakini bahwa rejeki tidak hanya dalam bentuk
materi. Mungkin prestasi-prestasi saya dahulu adalah salah satu bentuk rejeki
yang Allah berikan kepada saya hanya saja saya kurang menyadari itu.
Kisah Nyata Menjadi Pengamal Amalan Keenam: Puasa Senin Kamis
Amalan yang keenam inilah yang sepertinya amat sangat luntur
di diri saya saat ini. Saya menggeneralkan amalan ini menjadi puasa, entah itu
puasa senin kamis atau puasa sunnah lain. Dahulu saya begitu suka berpuasa,
entah itu puasa senin kamis atau itu puasa daud. Hingga puasa ayng aneh-aneh
pun saya suka melakukannya seperti puasa tidak makan daging untuk waktu yang
lama karena saya punya keyakinan bahwa kita adalah apa yang kita makan. Nafsu
kebinatangan datang ketika kita makan sesuatu yang berasal dari binatang. Namun
puasa ini akhirnya berhenti karena saya tidak tega melihat ibu saya kebingungan
untuk menyiapkan sarapan atau makanan tanpa unsur binatang atau daging. Dahulu
puasa senin kami saya terjaga, tidak seperti sekarang yang hampir tidak pernah
saya laksanakan. Dahulu, tanpa sahurpun saya suka berpuasa, nekad, tekad, kuat.
Namun,s ekarang, tak sahur maka tak puasa, hari kamis karena ada lari maka tak
puasa. Sepertinya saya terlalu meremehkan diri saya sendiri, memandang lemah
badan kuat yang Allah berikan pada saya. Masak iya saya mati kalau berpuasa
sedangkan jelas-jelas dahulu saya berpuasa tanpa sahur dan hingga kini saya
masih hidup. Sebuah pergolakan dalam jiwa yang harus cepat saya atasi dengan tindakan,
saya harus bertekad untuk berpuasa lagi entah apapun konsekuensinya. Saya
merasa saya yang sekarang terlalu manja, terlalu lembek, terlalu memanjakan
diri saya sendiri. Capek sedikit tidur, lapar sedikit makan, padahal seharusnya
saya harus mampu mendorong diri untuk bisa mencapai garis batas terluar untuk
bertahan, bukan berkutat di zona nyaman yang malah sepertinya menggerogoti
kehidupan saya. Menyeret saya dalam keterpurukan. Saya merugi. Berpuasalah,
karena ketika berpuasa kita akan lebih cepat dalam belajar, syaitan akan makin
susah menggoda kita ketika kita lapar karena sebenarnya mereka mampu masuk,
mengalir melalui aliran darah. Berpuasalah, agar pandangan kita terjaga,
berpuasalah agar wajahmu tentram ketika dipandang. Berpuasalah, mari berpuasa.
Kisah Nyata Menjadi Pengamal Amalan Ketujuh : Sedekah
Amalan terakhir. Sebuah amalan yang jelas-jelas luntur dari
diri saya, sedekah. Entah mengapa sepertinya saya yang sekarang lebih egois.
Saya lebih banyak menghabiskan uang untuk kebutuhan saya sendiri ketimbang
membagikannya, mensedekahkannya pada orang lain. Saya egois dan makin egois. Padahal
dengan bersedekah kita bisa makin sadar bahwa banyak orang yang tak seberuntung
kita. Entah mengapa, tapi sepertinya saya yang sekarang begitu susahnya untuk
merogoh saku dan memberikan lembaran rupiah kepada orang yang membutuhkan.
Berbeda dengan saya dahulu yang hampir selalu menyisihkan uang hasil berdagang
untuk disedekahkan. Padahal nyata sekali manfaat sedekah ini. Saya merugi.
Ketika kita memberikan sesuatu, maka yakinlah kita akan mendapatkan balasan
lebih dari yang kita berikan. Yakinlah bahwa kebaikan yang ktia berikan akan
bercabang dan membawa kebaikan lain. Pernah suatu ketika saya mensedekahkan
beberapa uang, di tengah perjalanan pulang saya seperti melamun dan hampir saja
mengalami kecelakaan. Namun untungnya kecelakaan itu tidak terjadi dan saya
hanya terkaget dibuatnya. Allah menolong saya, mungkin apabila saya sampai
mengalami kecelakaan, uang yang saya keluarkan akan jauh lebih besar ketimbang
uang yang saya sedekahkan. Balasan itu tidak selalu dalam bentuk yang sama,
mungkin juga dalam bentuk lain yang tidak kita sadari.
Sudahkan kawan melaksanakan amalan tersebut? Kalau belum,
yuk bareng-bareng melaksanakannya. Saya berusaha untuk melaksanakannya dan
kawan pun berusaha untuk menjaganya. Mari berama-sama meraih manfaat dan
memberi manfaat sebanyak-banyaknya. Semoga ada yang bisa diambil sebagai
pelajaran dari seseorang seperti saya ini. Karena yang paling berat bukan memulai sesuatu melainkan untuk menjaganya.
Salam,
Aryya Dwisatya W
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu