Rabu, 13 Februari 2013 di Ruang
Rapat Lembaga Kemahasiswaan ITB.
Sore tadi agak mendung, awan hujan
yang turun malam ini belum cukup berat
untuk bisa jatuh membasahi bumi Bandung ini. Rasa malas datang mendera
menyurutkan kemauan untuk menghadiri undangan sosialisasi buku dari Lembaga
Kemahasiswaan. Jadwal rapat yang tadinya pukul 16.30 mundur sekitar 20 menit
karena masih menunggu perwakilan dari fakultas lain. FTTM, SAPPK, SITH, dan
STEI merupakan fakultas-fakultas yang mengirimkan perwakilannya pada pertemuan
kali ini.
Saya mengira pertemuan ini akan
membosankan dan tidak terlalu bermanfaat, tapi ternyata di tengah perbincangan
kami dengan Pak Sandro atau lebih tepatnya ditengah sharing dari Pak Sandro, rasa ketertarikan saya terhadap apa yang
menjadi pokok bahasan semakin besar.
Dimulai dengan pembukaan dari Kang Tio selaku Menteri PSDM Kabinet KM
ITB, Pak Sandro memperkenalkan diri dengan bercerita tentang kiprah beliau di
ITB dulu. Masuk ITB tahun 1995 dan menjadi aktivis selama kuliah. Selain itu,
beliau juga pernah menjadi ketua GAMAIS,
saya agak kagum dibuatnya. Beliau bercerita bagaimana sejarah
terbentuknya KM ITB hingga OSPEK yang dialami beliau hingga tangannya harus
berdarah karena push up dengan kepalan
tangan beralaskan aspal. Tak banyak
hal-hal yang saya catat dalam buku catatan kecil saya, hanya ada 13 baris
kalimat yang tercatat, itu pun bisa menjadi hanya tujuh atau delapan baris saja
bila dirapikan. Ada beberapa hal yang saya tangkap dari pertemuan ini, yaitu
tentang mendesain CV, bukan menulis CV. Hanya berbeda satu kata,
tapi berbeda sekali maknanya. Mendesain CV berarti seseorang dengan sadar
membuat CV berdasarkan apa yang ia kehendaki, sedangkan menulis CV adalah
menuliskan apa yang telah ia lalui, tanpa ataupun dengan rencana yang
mendahului. Mendesain CV berarti kita benar-benar punya tujuan atau arah yang
jelas apa yang ingin kita tuliskan dalam CV, bukan semata-mata menuliskan apa
yang telah kita lalui entah dengan penuh makna dan manfaat atau hanya sia-sia
saja, “mendesain” tidak sama dengan “menulis”. Logis juga apa yang diungkapkan
oleh beliau. Mungkin hanya satu dari sepuluh penulis CV yang benar-benar
mendesain CV nya sedangkan sisanya hanya menulis apa yang kebetulan sudah
terjadi. Terakhir kali saya menulis CV untuk menerbitkan buku dan setelah saya
pikir-pikir, saya termasuk sembilan dari sepuluh penulis CV tersebut, saya
hanya menulis, bukan mendesain.
Selain tentang mendesain CV, beliau
juga berbagi tentang join by purpose
atau ikut serta atas dasar tujuan. Jadi, ketika hendak mengikuti sesuatu bukan
hanya dasar ikut-ikutan melainkan hendak mencapai sesuatu entah apalah itu. Dengan demikian, ketika ada
masalah yang menghadang, kita tetap siap dan berani untuk menghadapi masalah
tersebut hingga didapatkan sebuah solusi atas masalah tersebut. Berbeda dengan
orang yang ikut-ikutan atau hanya karena mood, ketika ada masalah yang menerpa,
kemungkinan besar ia akan lari atau meninggalkan apa yang telah ia ikuti.
Sekali lagi, logis. Dengan menentukan tujuan bukankah tekad akan semakin kuat?
Dengan semakin kuatnya tekad bukankah semangat akan semakin membara? Bila
semangat membara bukankah putus asa akan jauh dari kita? Anda tau jawabnya :)
Dari berbagai hal yang beliau
bagikan, poin terakhir ini tidak kalah menariknya. Nilai. Dahulu ketika beliau
masih menjadi mahasiswa, rezim order baru masih berkuasa dan nilai yang
ditanamkan pada beliau dan rekan-rekannya adalah nilai membangkang. Membangkang
pada rektorat bahkan pada rezim. Wajar saja, zaman dahulu belum seperti ini, demokrasi
masih dipangkas habis sehingga membangkang merupakan sesuatu yang dibutuhkan.
Beliau juga sempat bernyanyi lagu “kebanggaan” beliau bersama rekan-rekannya
dulu yang benar-benar membuat saya ingin tertawa, tapi untuk lirikya mohon maaf
tidak bisa saya tuliskan di sini. Berbeda dengan sekarang yang sudah jamannya
demokrasi, nilai membangkang tersebut sepertinya sudah tidak cocok bila
diterapkan. Apa yang mau dibangkang? Dulu memang aktivis dipersiapkan untuk
berdemo menentang rezim, tapi sekarang?
Rasanya tidak rugi merelakan waktu
satu jam setengah untuk mendengar cerita dan petuah beliau. Paling tidak ada
pengetahuan dan impian baru di otak saya, impian yang pasti dan harus terwujud.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu