Merantau nampaknya sedikit banyak membuat pikiran saya menjadi lebih terbuka. Lingkungan yang berbeda, cara memandang yang berbeda, hingga tekstual yang berbeda membuat pikiran dipaksa sedikit demi sedikit untuk tidak kaku dan itu-itu saja. Ia dipaksa menerima kenyataan bahwa ada berbagai versi terkait hal yang sudah kita kenali selama ini.
Berbeda Tapi Sama
Saya punya pengandaian seperti berikut. Suatu hari saya punya dua teman yang sedang berulang tahun, lantas saya hendak memberikan kado kepadanya. Saya hanya memiliki satu jenis kado tapi ada beberapa jenis bungkus. Setiap teman saya mendapatkan satu buah kado yang bungkusnya berbeda. Secara sekilas, kedua teman saya merasa bahwa kado yang saya berikan berbeda. Padahal sama, hanya bungkusnya saja yang berbeda. Hal-hal seperti ini sering kali kita temui dalam keseharian. Parahnya adalah kita sampai ngotot-ngototan menegakkan keyakinan kita padahal esensi dari keyakinan yang lain ya sama saja.
Peyeum bin Tape |
Kalau nih misal, ada orang islam yang berdoa dan dalam doanya ada kata-kata berikut, “Sang Hyang Widi, ampuni lah hamba dan keluarga hamba…”, seperti apa reaksi kita? Langsung bilang, “Woi! Kafir woi!” Saya tidak tahu apa yang akan kawan-kawan lakukan. Namun, ya saya akan membiarkan. Lha, arti dari Sang Hyang Widi itu adalah Yang Maha Tunggal, Esa, Allah kan Maha Esa, terus kok malah dikafirkan? Lantas, kalau enggak pakai bahasa Arab, ditolak gitu doanya? Kalau enggak pakai bahasa Arab, Allah enggak mengerti gitu?
Saya sempat bertanya-tanya, apakah orang yang sholat dengan bahasa Indonesia atau bahasa ibu nya tidak diterima sholatnya? Lantas ada jawaban dengan sebuah hadist, “Sholat lah seperti aku sholat.”, yang pada akhirnya meng-kaku kan sholat. Karena Rosulullah sholat dengan bahasa Arab, maka yang sholat dengan selain bahasa Arab itu salah! Masak iya? Yakin? Kok kamu yakin? Bukankah Rosulullah sholat dengan bahasa yang beliau mengerti? Bukankah beliau sholat dengan bahasa ibu nya? Lantas, kalau ada orang Jawa sholat dengan bahasa Jawa, apa serta-merta dia menjadi salah? Bukankah dia sholat seperti Rosul sholat? Yakni dengan bahasa yang dari lahir ia gunakan?
Lho mas, samean sholat e nganggo boso Jowo? Yo ora ndeng! Saya masih di tahap cari aman. Cari aman dengan menerima mentah-mentah tanpa berani menginterpretasikan, menggunakan akal saya. Daripada ribut, yasudah, terima saja lah. Sholat pakai bahasa Arab daripada dikafirkan. Ya toh?
Apalagi sekarang, sedikit beda langsung saja” kowe kafir!”
Salam,
Aryya Dwisatya W
Pemuda yang males di kafir-kafir kan dan mengkafirkan
Sepertinya saya (sedang) butuh murysid yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan non tekstual yang ada di pikiran saya.
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu