Skip to main content

Posts

Menyentuh Rasa

Orang tua, suasana rumah, dan kawan, itulah beberapa hal yang menjadi daya tarik untuk kembali pulang bagi kami para pejuang perantauan. Ya, apa lagi selain ketiga hal yang sangat berarti itu, mereka selalu bisa menarik kami untuk pulang ke kampung halaman kami ketika memang ada kesempatan. ….. Tiga hari, waktu yang sebenarnya aku punya untuk pulang ke rumah. Sabtu, Minggu, Senin, adalah waktu-waktu yang memungkinkanku menikmati ketiga hal yang selalu bisa menarikku merebahkan badan di tempat tidur yang selalu nyaman itu. Tiga hari yang aku rasa cukup untukku pulang walaupun tak bisa sepuasnya aku nikmati tapi toh nyatanya aku tak pulang. Aku masih di sini, di kota rantau, Bandung, ketika teman-teman ku yang lain pulang ke rumahnya masing-masing dan menikmati tiga hal yang aku sebutkan sebelum ini. Walaupun nyatanya, banyak diantara temanku yang lain yang masih di sini, di kota rantau tanpa bisa plang ke kampungnya karena satu atau dua alasan. Beruntung, orang tuaku datang

Mantan Terindah

“Aku tak pernah lupa apa yang kita nikmati bersama, tapi biarlah ia jadi kenangan indah hanya untuk kita berdua.” Aku terkejut. Ketika mataku menelusuri beranda facebook, aku menemukan sebuah tautan yang agak menggelikan menurutku. Mantanterindah.com . Aku bukan pemilik situs tersebut. Toh aku pun baru tau situs itu kemarin sore tanpa disengaja pula. Tanpa pikir lama, langsung saja ku buka tautan tersebut dan benar saja, aku menemukan berbagai cerita muda mudi tentang mantan yang menurut mereka terindah. Ini seriusan? Aku tidak menyalahkan mereka yang bercerita tentang mantan yang mereka anggap terindah. Aku tidak pula menyalahkan dia sang pembuat situs tersebut. Namun, aku punya konsep sendiri mengenai mantan maupun mengenai kata terindah. …. Ketika masuk ke dalam situs tersebut, aku bisa membaca berbagai tulisan mengenai mantan-mantan orang lain yang kebanyakan menjunjung (terlalu) tinggi mantan mereka. Yakin mau nge-bagi cerita indah itu ke khalayak umum? Aku tidak

Untuk kawanku

Untuk kawanku, Beberapa waktu yang lalu, sekitar seminggu atau dua minggu yang lalu, ada seorang kawan yang menghubungiku. Dengan suara terisak ia berbicara kepadaku melalui handphone bercerita mengenai apa yang dialami dan dirasakannya. Ia berbagi ksiah hidupnya. Kawan, bagiku merekalah yang tak kalah berharganya dengan keluargaku. Mereka yang bisa jadi lebih mengetahui diriku ketimbang orang tuaku. Mereka yang bisa menaik turunkan perasaanku selain pasanganku. Mereka yang bisa membuatku sedih dalam senang maupun senang dalam sedih. Pun meninggikan kesenanganku. Aku memang sangat dekat dengan kawanku yang satu ini. Entah mengapa, aku punya cara sendiri untuk mendekatkan diri dengan roang lain bahkan menjadikannya sahabat. Menghina. Itulah yang kulakukan. Meskipun terkesan menyakitkan, tapi yakinlah akan ada masa dimana engkau rindu hinaanku seperti yang engkau bilang beberapa waktu lalu. Jujur, ketika menghina aku tak sekedar ingin menyakiti hatimu melainkan menyadark

Anyaman Rasa

Semakin menua apa yang kita jalin Pertanyaan bergantian menunggu untuk terjawab Tanpa jeda bahkan Walaupun mereka saling menutupi yang lain Semakin lama kita bersama Makin banyak ini itu yang tak ku suka Pun tak kau suka Namun bukan pengertian yang kita dapat Justru perselisihan yang dengan rela menghampiri Karena ketidakadaan niat untuk saling mengerti, berbagi Aku tak menyukaimu Bukan sepanjang waktu tak menyukaimu Tapi ketika tatapanmu yang itu menjadi santapanku Engkau tak mengerti perasaanku kala itu Atau memang kah engkau tak mau tau? Banyak hal yang aku relakan Begitu banyak yang ku relakan Melepas ini itu demi sesuatu yang kini makin banyak pertanyaan Tidak Aku takkan membandingkan apa yang aku relakan Pula yang engkau relakan Tak layak bagiku membandingkannya Namun pernah kah engkau bayangkan betapa hatimu terluka Ketika orang yang kau perjuangkan, sayangi, bahkan dambakan Mendaratkan pandangan remeh dan tak be

Ketika Kita Bertemu

Suatu sore kita pernah berpapasan di simpang jalan itu Tak ada kata yang terucap Hanya pandangan mata yang saling bertemu Entah, siapa dirimu Aku tak tahu pun dirimu Suatu ketika kita bertemu lagi Di tempat yang sama pada kesempatan berbeda Kali ini tak sama Bukan hanya tatapan kita yang saling bertemu Namun senyum kita saling menyejukkan Engkau tersenyum tuk pertama kalinya Ada jeda di antara pertemuan kita Ada rentang yang tak bisa dimampatkan Mau tak mau Kita selalu terpisahkan Suatu malam kita bertemu lagi Tak jauh dari tempat pertama kita berpapasan Bukan sebatas senyum yang saling menyejukkan Pun tatapan yang saling bertemu Kali ini tangan kita saling menggenggam Udara dingin malam itu seakan membaluri tubuh kecuali tangan kita Tangan kita hangat Tanganku hangat karena tanganmu Untuk pertama kalinya kita berpegangan tangan Untuk pertama kalinya engkau mempercayai diriku sebagai satu-satunya penggenggam tanganmu Kita