Akhir-akhir ini sering lah kita mendengar istilah-istilah data driven bla bla bla bla dan seteusnya. Nah, saya coba jadi orang latah dengan membuat judul yang demikian. Namanya, Data Driven Self Evaluation yakni Evaluasi Diri Didorong Data. Kalau definisi saya sih, intinya evaluasi yang berdasarkan data. Lho,evaluasi bukannya harus selalu dengan data? Untuk orang-orang seperti saya sepertinya butuh yang taktis, data. Mungkin kalau sudah mumpuni, bisa lah ya pakai "rasa" saja.
Latar Belakang
Beberapa minggu yang lalu saya sempat kaget mendengar jawaban kawan saya (dewa) ketika saya tanya progres tugas akhirnya, "Sudah 50% an lah.", Anjai kuda, sudah jauh kali ni orang. Ku tanya lagi lah dia, "seriusan kau?", "Iya lah, gue ngerjain nya siang malam!". Mampus, di saat tugas akhir ku tak kusentuh dan mungkin bad sector di HDD. (penggunaan kata aku dan saya digunakan kondisional, tidak konsisten, dan bisa jadi bercampur-campur). Saya lantas terdiam dan melanjutkan perjalanan ke kawah candradimuka, Labtek V.
Dari sana saya mulai sadar, kalau begini terus, mana bisa lulus-lulus. Tugas tak dikerjakan, kerjaannya proyek lah, kerja lah, nonton film lah, baca anime lah, dan lain-lain yang mayoritas tidak ada relevansi nya dengan kelulusan atau keterselesaikannya tugas akhir.
Hanya Omong Kosong
Pernah, beberapa waktu yang lalu saya berniat mengerjakan tugas akhir 2 hari sekali. Sehari mengerjakan proyek atua kerjaan, sehari yang lain barulah mengerjakan tugas akhir. Akhirnya? omong kosong. Tugas akhir tidak berprogres. Sejujurnya sampai tahap itu saya berpikir, "ini tugas akhir bisa kelar apa enggak ya?" wahahaha. Kacau sekali. Kendalanya hanya satu, "rasa" saya masih kurang tajam dan objektif. Baru sebentar mengerjakan tugas akhir eh sudah merasa sangat lama dan bosan. Alhasil tugas akhir terbengkalai. Akhirnya, saya mencoba menggunakan pendekatan lain yakni data driven self evaluation.
Nah, sejak tanggal 26 Februari 2016, saya mencoba memperhatikan dua hal yang seharusnya dominan menghabiskan waktu sehari-hari saya yakni mengerjakan tugas akhir dan tidur. Ya iyalah, tubuh juga butuh istirahat, istri juga butuh ditemani tidur, iya kalau dulu pas masih bujang, begadang-begadang sampai tidak tidur sambil sebat sedikit masih bisa. Sekarang kan sudah beda!
Nah, untuk dua hal tersebut saya membuat patokan alokasi waktu. Tugas akhir saya alokasikan 3 jam sehari sedangkan tidur saya alokasikan 4 jam sehari. Bagaimana hasilnya pada hari pertama? Ampas! Alokasi wkatu tidak terpenuhi, kwkwkw.
Namun, menariknya adalah semakin ke sini, alokasi waktu untuk tugas akhir dan tidur makin termaksimalkan. Waktu mengerjakan tugas akhir meningkat dan waktu tidur berkurang. Sederhana saja, ketika saya bosan, saya melihat lagi waktu yang sudah saya habiskan hati itu,"oh baru 30 menit?, lanjut lagi ah." Ya walaupun optimasi belum 100%, tapi lumayan lah ada peningkatan dai 37%, 50%, hingga 58%. Ternyata susah juga ya menyerap/mendayagunakan alokasi yang ada. Pantas saja alokasi dana di pemerintah kadang tidak benar-benar bisa terserap. Lha wong alokasi untuk diri sendiri saja susahnya setengah mati untuk mengoptimalkan. (Ah, ini ngomongan ngawur dan tidak pakai data : yang kaitannya sama pemerintah).
Nah, itukan dari sisi optimasi alokasi waktu, nah dari sisi tugas akhir sendiri hal ini sanga-sangat bermanfaat. Selain mengubah pemikiran saya yang awalnya ragu bisa menyelesaikan tugas akhir atau tidak menjadi optimis bahwa tugas akhir ini bisa selesai sebelum April 2016, metode ini juga meningkatkan kuantitas commit di repository dari awalnya 14 commit saja menjadi 28 commit. Bayangkan, 14 commit pertama tercipta selama 15 hari sedangkan, 14 commit kedua tercipta hanya selama 3 hari.
Sampai di sini saya makin optimis bahwa tugas akhir saya bisa selesai sebelum April 2016 dan juga saya makin percaya bahwa data sangat pending dalam menjadi pijakan dalam mengambil keputusan. Walaupun keputusannya hanya tentang, "lanjut ngerjain TA gak ya?"
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu