Sudah tiga puluh empat hari semenjak saya tak lagi menjadi seorang lajang. Kalau kata orang Jawa, saya sudah tidak bisa dipanggil “lancing”, sebutan untuk seorang jejaka. Ada banyak hal yang saya dapatkan, pikirkan, alami, inginkan, dan sebagainya. Beberapa, akan saya coba tuliskan, semoga menjadi manfaat. Bismillah.
Ribuan Pertanyaan
Perlu saya akui bahwa sebelum
menikah, saat menikah, dan setelah menikah begitu banyak pertanyaan yang
muncul. Semuanya bervariasi sesuai dengan pewaktuannya. Kreatif sekali memang
para penanya itu.
Ketika sebelum menikah, biasanya
pertanyaan yang umum ditanya antara lain:
“Kapan nikah?”
“Sama siapa nikah?”
“Ntar nikah di Bandung apa di
Lumajang?”
“Udah punya mobil?”
“Udah punya modal buat nikah?”
Dan sebagainya. Anehnya,
pertanyaan yang sifatnya materiil justru tidak datang dari keluarga saya atau
keluarga istri saya. Kalau saya ingat, dulu ketika tahun 2013 saya mengutarakan
niat saya sendirian, orang tua istri saya tak bertanya, “kamu kerja apa le?”
atau “kamu sudah punya uang berapa le?” dan sebagainya. Pertanyaan yang
orientasinya materiil justru ditanyakan oleh orang lain.
Selanjutnya, ketika saya sudah
menikah, muncul lagi pertanyaan yang tetap kreatif mulai dari, “Sekarang
tinggal di mana?”,”Gimana rasanya nikah?”,”Lo bahagia gak?”,”Nikah sesuai
ekspektasi lo gak?”,”Mau nulis buku tentang nikah muda gak?”,”Sekarang
tinggalnya berdua?”, dan lain sebagainya. Yang ingin saya sampaikan adalah, mau
kapan pun dan dimanapun, pertanyaan tentang diri kita bisa selalu ada. Jadi,
tidak perlu lah terlampau dipikirkan terlebih bila memang tidak penting dan
berdampak.
Akselerasi Diri
Mendapatkan berbagai pertanyaan
membuat saya cukup ingin menjawab. Kalau ditanya tinggal di mana, sekarang kami
tinggal di Sadang Serang, dekat terminal dan pasar. Alhamdulillah, nyari bahan
masakan jadi gampang. Rasanya setelah nikah enak, tentram, dan lebih rame
karena yang saya nikahi ya-gitu-deh
jadi hari-hari saya enggak kayak kuburan yang sepi. Hahaha. Terus, kalau untuk
nulis buku tentang nikah muda, hmm, sepertinya sih enggak. Nikah enggak
serendah untuk legitimasi supaya saya bisa nulis buku. Tapi kalau mau ngobrol
tentang hal ini sih hayuk, saya nanti sharing, tapi enggak jamin bakal sesuai
dengan kasus yang dialami.
Lalu pertanyaan pamungkas pun
harus dijawab, “Nikah sesuai ekspektasi lo?”Ya! Karena saya berpikir sederhana
bahwa dengan menikah ya saya tetap saya walaupun tanggung jawab saya meningkat.
Tapi ekspektasi saya terpenuhi kok, saya dapat istri yang selalu mau belajar.
Itu saja. Dan anehnya, bukan Cuma istri saya saja yang belajar, tapi saya pun
belajar. Mulai dari masak, ngurus rumah, ngurus istri, dan yang paling penting
adalah belajar tentang apa yang harus dilakukan. Ini yang seringkali jadi
masalah.
Di luar sana saya belajar untuk
mengoak-ngotakkan tanggung jawab. Tanggung jawab 1 untuk si A, tanggung jawab 2
untuk si B, tanggung jawab 3 untuk si C hingga pada akhirnya ketika suatu
tanggung jawab tak terlaksanakan, pertanyaan yang muncul pertama adalah, “siapa
yang bertanggung jawab untuk hal 1?” bukan malah, “apa yang bisa saya lakukan
agar tanggung jawab itu tuntas?” barulah boleh mencari siapa yang sebenarnya
bertanggung jawab. Ya, memang sampai tiga puluh empat hari ini hal yang non
materiil lah yang jauh lebih banyak saya dapatkan daripada hal-hal yang
bersifat materiil. Tapi justru itu yang sangat saya syukuri, adanya akselerasi bukan
hanya pengetahuan melainkan juga skill. Lantas, bagaimana satu tahun lagi? Saya
pun belum tahu, tapi saya yakin akan ada banyak hal lain yang akan kami
dapatkan.
Dua Puluh Satu Tahun
Kurang Satu Bulan
Masih tentang pertanyaan, “nikah
sesuai ekspektasi lo gak?” maka sekali lagi saya akan jawab, Ya! Sangat sesuai!
Bagian ini juga akan menjawab pertanyaan yang sangat sering ditanyakan, “mengapa
nikah muda? Mengapa nikah umur 20? Mengapa nikah pas kuliah?”. Untuk semua
orang yang menanyakan hal tersebut, mohon maaf, tapi sejujurnya standar yang
saya pakai bukanlah muda-tua, 20-25, atau kuliah-alumni melainkan selagi masih ada.
Yang saya yakini, menikah adalah
sesuatu yang membahagiakan, bukan hanya untuk mempelai, tapi juga untuk orang
tua dan keluarga bahkan teman. Kalau kalian tau, ketika saya lahir, kakek nenek
saya sudah tidak ada. Saya dan kakak tidak pernah ditimang oleh kakek nenek
kami. Saya tidak tau umur dari orang-orang yang sangat saya sayangi. Sungguh
saya tidak tau. Yang saya tau dan bisa lakukan adalah mencoba menarik
kebahagiaan-kebahagiaan yang ada, mengakselerasikan semuanya agar beliau-beliau
bisa merasakan kebahagiaan itu. Selagi masih ada, maka saya lakukan. Saat ini
orang tua saya sudah pernah merasakan anaknya menikah, memiliki menantu. Saya
hanya tidak ingin terlambat dalam melakukan sesuatu. Sekali-sekali coba
melakukan sesuatu bukan untukmu tapi untuk orang lain. Mungkin saya bisa
menunda menikah hingga umur 26 atau 27 setelah saya berkelana ke banyak tempat,
tapi apakah ada jaminan orang-orang yang saya sayangi dan menyayangi saya masih
ada? Walaupun doa selalu tercurah kepada mereka supaya mereka selalu
mendapatkan kesehatan, perlindungan, umur
panjang, dan segala sesuatu yang barokah, tapi tetap semua menjadi hak
Allah. Saya hanya mampu berusaha sebisa saya sebagai seorang anak, seorang
adik, seorang kakak, seorang sepupu, seorang ponakan, dan seorang kawan.
Bila melihat kebahagiaan yang ada
dengan pernikahan ini, baik itu di senyum, tawa, tangis, dan wajah orang-orang
yang terlibat maka dengan jujur saya berkata bahwa menikah begitu sesuai dengan
ekspektasi saya bahkan lebih.
….
For some reasons, i love this picture so much. |
Comments
Post a Comment
Tanggapilah, dengan begitu saya tahu apa yang ada dalam pikiranmu