Pernikahan, ya pernikahan. Dalam
tulisan ini saya tidak akan menjelaskan panjang lebar apa itu pernikahan, hadis
apa saja yang menganjurkan untuk menikah, apa saya keutamaan ibadah orang-orang
yang telah menikah, ataupun cara meminta restu untuk menikah. Tidak. Bukan itu
yang akan saya bagikan melalui tulisan ini.
Melalui tulisan ini, saya ingin
menjawab suatu ketakutan yang mungkin di rasakan oleh banyak orang di luar
sana. Kekhawatiran yang mungkin melanda hati-hati insan yang masih sendirian.
Pertama-tama, perkenankan saya
untuk berasumsi bahwa kita semua di sini sama-sama setuju untuk menyegerakan
nikah. Orang yang sudah membuat rencana jangka panjang dengan tetap
mencantumkan nikah sebagai salah satu pencapaian pun boleh masuk dalam kategori
ini.
Pertanyaan sederhana, kapan saya
harus menikah?
Jujur, saya tak mampu menjawab
pertanyaan tersebut spesifik tiap orang. Mungkin kita ahrus menikah umur 22
tahun, mungkin 21 tahun, atau mungkin di waktu yang tidak kita duga. Namun,
silahkan simak hadis berikut:
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena
ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu
hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.
Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah
kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu
seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa
itu) benteng (penjagaan) baginya. (HR. Bukhari)
Dalam hadis tersebut diterangkan
bahwa pemuda / generasi muda yang sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup / beban
keluarga untuk kawin. Namun, pernahkah kita mempertanyakan mengapa beban
keluarga? Mengapa anjuran tersebut datang untuk mereka yang telah mampu
memenuhi sesuatu yang dapat diukur?
Coba telaah ayat berikut ini:
“ Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu menurut ukuran.” QS. Al-Qamar:49
Jelas sekali bahwa Allah
menciptakan sesuatu menurut ukuran. Seperti halnya beban keluarga, ia dapat
diukur, matematis pula. Misalkan dalam berkeluarga tiap seorang lelaki dan
perempuan masing-masing membutuhkan uang 1 juta rupiah untuk hidup tiap
bulannya maka secara perhitungan mereka dapat bertahan hidup dengan uang
minimal 2 juta rupiah per bulan. Benar? Secara matematis benar.
Sekarang saatnya kita masuk ke
inti tulisan ini. Ada banyak orang yang tidak menyegerakan menikah
karena berbagai hal. Ada yang belum mendapat restu orang tua, masalah
finansial, merasa belum pantas, dll. Bagi saya pribadi, alasan pertama memang dilematis. Mengapa? Sebagai seorang anak
memang kita memiliki kewajiban untuk berbakti pada orang tua. Ada masa di mana
benar-benar kita harus menggunakan skill
lobbying kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, menerangkan berbagai
hal dengan dasar agar orang lain mau melakukan apa yang kita inginkan. Namun,
sayangnya dalam kasus ini batasan antara pantang menyerah dan memaksa terkadang
bias sehingga kadang ada kebingungan kapan harus lanjut berusaha atau
beristirahat sejenak.
Satu hal yang perlu kita ingat
bersama bahwa dalam meyakinkan orang tidak harus dalam satu waktu. Kepercayaan pun
tidak harus dalam satu waktu terbentuk, melainkan bisa dipupuk. Demikianlah
cara mendapatkan restu orang tua menurut saya pribadi.
Alasan kedua adalah tentang sesuatu yang lebih terukur. Ya terukur.
Namun, tetap alasan kedua ini berkaitan dengan masalah pertama. Bila masalah
kedua ini terselesaikan maka masalah pertama lebih mudah terselesaikan pula.
Pernah suatu ketika saya membaca tulisan mengenai nikah muda, satu kalimat yang
mungkin redaksinya beda tapi beresensi sama berucap, “Mengapa menunda nikah
karena finansial? Mending finansialnya yang dipercepat ketercapaiannya”.
Sederhana tapi masuk akal. Selain itu ada pula ucapan almarhum guru agama saya,
“yang penting berpenghasilan”. Dari sana nampak bahwa sebenarnya masalah
finansial bukan masalah yang tidak bersolusi. Namun, terkadang banyak yang
bingung bagaimana cara menyelesaikannya.
Bagi saya pribadi, yang penting
ada pemasukan yang bisa ditabung sebagai modal untuk berumah tangga. Besar
kecil penghasilan tersebut mungkin berbeda tiap orang, tapi bisa jadi sama
tujuannya, modal menyempurnakan separuh agama, menikah.
Alasan ketiga, ini adalah alasan
yang sebenarnya kurang sreg dengan hati saya. Terlebih alasan tersebut tidak terukur,
mengapa? Karena ia menggunakan kata “merasa”. Coba balik ke QS. Al Qamar:49. Poin
yang ingin saya sampaikan di sini adalah tentang pendapat yang menyatakan, “Saya
merasa belum pantas menikah, ilmu saya masih kurang”. Coba telaah hadis anjuran
untuk menikah yang sedikit diulas di
awal. Coba pertanyakan mengapa bukan “ilmu” yang menjadi dasar bagi seseorang
untuk dianjurkan menikah? Ilmu tidak dapat kita ukur. Mungkin ilmu dapat
dikuantitaskan dengan nilai atau score, tapi bisakah kita mengetahui sebanyak
apa sebenarnya ilmu yang ada di dunia ini dengan suatu skala yang dapat terukur?
Tidak. Silahkan acungkan tangan bila tahu. Oleh karena itu, sebenarnya bagi
saya pribadi alasan belum pantas atau ilmu masih kurang bukanlah sebuah alasan
yang dapat dibenarkan. Pertanyaan sederhana, apakah ketika setelah menikah kita
tak boleh belajar? Kita tak boleh mencari ilmu? Kita tak bisa menambah wawasan
kita, ilmu kita, wawasan keilmuan kita? Bisa. Jawabnya adalah bisa. Bila kita
berpegang dalam idealisme “saya belum pantas” dan “ilmu saya masih kurang” yang
berlandaskan perasaan padahal sesungguhnya Allah yang mampu membolak-balikkan
isi hati, lantas kapan separuh agama tersebut dapat kita tuntaskan? Bukankan
perasaan tersebut adalah perasaan yang kita buat sendiri? Mengapa kita tak
memohon kemantapan hati kepada Ia yang memegang hati kita? Silahkan pertanyakan
hal tersebut pada diri kita sendiri.
Tulisan ini dibuat sebagai buah ketidaksamaan cara pandang dan pikir.
Tulisan ini dibuat sebagai pematah pernyataan yang bagi saya kurang pas. Tulisan ini dibuat sebagai jawaban
atas diamku. Tulisan ini dibuat dengan segala kerendahan hati. Semoga
bermanfaat.
Salam Bangsatya,
Buruk.Baik.Menginspirasi.
Udah ya. Undangan jangan lupa aja pokoknya hahaha.
ReplyDeletePaling suka sama kata-kata ini :
"Pantang menyerah dan memaksa terkadang batasnya nampak bias"
Hahaha, itulah, Za. Terkadang batas antara beberapa hal sangat tipis sampai kita tak tahu sudah masuk ke hal yang lain
Deletehmmm belum ada restu orangtua sepertinya, makanya belum menikah... :)
ReplyDeleteSalah satunya. Restu orang tua kan penting sekali :D
Delete