Skip to main content

Posts

Kota ini letih

Mungkin bila aku tinggal lebih lama di sini Aku akan mengerti seberapa letihnya kota ini Hampir lima ratus tahun umurnya, yang diakui Nampaknya ia telah renta Terlampau banyak beban yang harus ia tanggung Kendaraan bermotor yang membebani punggung kota Beserta dahaknya yang menghalangi pandangan Kota ini letih Dan lagi letih hati Ketika ia harus terpaksa membisu Menyimpan rahasia orang-orang yang ada di dalamnya Dengan gemerlap cahaya dari lampu Bukan lagi dari bintang dan bulan Rahasia dari kamar-kamar   yang tetap menyala lampunya ketika malam meskipun Ramadhan Rahasia dari orang-orang yang berjalan bergandeng tangan meskipun tak saling kenal Kota ini letih, bukan karena umurnya, tapi bebannya Beban yang seharusnya bisa ia bagi bersama sang bulan dan bintang-bintang

Ramadhan Bagi Perantau

Ramadhan Tidak terasa, sudah tiga tahun lamanya sejak saya benar-benar pergi merantau dan jauh dari orang tua. Juni 2012 ketika pertama kali saya merantau ke Bandung dan saat itulah saya mulai merasakan bagaimana manis-asam-asin nya menikmati Ramadhan ketika di perantauan. Bukan tak mau pulang, tapi sering kali belum bisa atau tidak bisa karena jadwal akademik atau jadwal organisasi yang berbenturan dengan keinginan. Seringkali motto, “Selama masih muda dan ada kesempatan.” Selalu terdengar dan membuat waktu begitu banyak diluangkan untuk kegiatan selain…pulang. Ketika Ramadhan Datang Ketika Ramadhan datang, ada banyak hal yang biasanya saya dan kawan-kawan lakukan, tapi di sini tak bisa: Ngaji di langgar yang kecil tapi penuh dengan makanan, keliling masjid mencari berkah Ramadhan dan juga makanan, dan yang terpenting adalah berkumpul bersama keluarga. Entah, makin ke sini saya merasa poin terakhir sangat amat berharga untuk dilewatkan. Untungnya, ada sedikit pelipur lara

Menutup Masjid

Suatu waktu saya membaca status seorang kawan yang menceritakan pengalamannya beribadah di salah satu masjid. Beribadah di masjid? Tentu perihal yang bagus, sayangnya tidak semua berpikir tentang apa, tapi siapa. Begini maksud saya. Suatu ketika ada teman saya yang sholat di masjid, dia perempuan dan kesehariannya masih belum menutup aurat secara keseluruhan. Sesampainya di sana, malah mendapatkan respon negatif berupa omongan dari orang-orang lain yang mungkin lebih dahulu menutup seluruh auratnya. Alhasil, ada rasa tidak nyaman karena mendapatkan perlakuan demikian.  Saya jadi heran, kok ya malah yang sudah menutup auratnya malah tidak bisa menutup mulutnya dan membiarkan orang lain untuk beribadah? Toh bukannya memang pencapaian orang tidak sama? Mungkin mereka sudah menutup aurat sekarang, tapi belum demikian dengan kawan saya. Saya bukan bermaksud membenarkan kawan saya yang belum menutup aurat tersebut, tapi saya sangat tidak setuju dengan sikap orang-orang yang men